Senin, 11 November 2013

Cerpen - Senyumannya Lembayung Senja

Bel pulang sekolah berbunyi dengan nyaring tanda hari berakhir, dengan dihiasi wajah murid yang kusam terlihat seperti hape yang sedang low bat, yah begitulah suasana sekolah kami, Nama ku Rezki Muhammad panggilannya Rezki, yang duduk di 2 SMA bangku nomor dua terakhir paling belakang dan kini tidak ada seorang pun di kelas.
Waktu menunjukkan pukul 16:45, sore yang paling melelahkan pikirku mungkin dengan sholat ashar menjadi lebih tenang, setelah sholat lalu mengambil kets hijau tua ku di samping sekitar jarak 2 meter dari tempatku memasang sepatu, perempuan itu juga sedang memasang sepatu, sepertinya habis sholat juga, “belum pulang?” Tanya ku agak sedikit kepo, dia menatap sambil seyum dan kembali memasang sepatunya. Siapa orang itu kenapa mirip sekali wajahnya dengan… ah sudahlah aku tidak mau membahasnya lagi tentang dia.
Berjalan di trotoar Jakarta saat sore hari terasa terik masih menyilaukan di kulit terasa panasnya terobati dengan angin dari barat yang sejuk, “Ka..?” Sosok dari samping mengagetkan-ku “Ha..!!!”, “hm.. kaget ya? Maaf”, “hehe mengapa abis tiba tiba muncul gitu kaya kun-kun-kun”, “eeh enak aja kuntilanak maksudnya?”, “haha.. Kenapa kamu manggil?” ” Ini” sambil mengeluarkan barang elektronik yang tak asing di lihat ku, “oooh hape gue, aduh sampe lupa, makasih banget gue gak tau kalo gak ada lo tadi…”, “iya kal tadi pas pake sepatu aku liat jatuh dari kantong celana” “ohaha maksih banget ya..” “Iya ka sama-sama”, “gak usah panggil kak dong, panggil nama aja”, “oh iya nama”, “hh.. Bukan maksudnya Nama gue!! Nama Gue Rezki”, “oh Rezki”, “iya Nama lo siapa?”, perempuan itu senyum lalu menyebutkan Namanya. “Oh jadi Nama lo Rezki juga?, Rezki Wirati, Namanya bagus kaya orangnya” kata ku agak ngegombal sedikit pada anak itu, dan dia hanya tersenyum dingin, sepertinya anak ini tidak suka humor atau gimana? Tapi dia perfect, “Aku duluan ya itu ada angkot!” Katanya sambil bergegas, dan lagi lagi ia terseyum dan aku pun membalasnya dengan senyum.
Lalu lalang kendaraan, warung remang-remang yang mulai menunjukan cahayanya redup, inilah Jakarta saat Malam, di tepi gedung tinggi rumah sederhana itu rumah-ku, home sweet home. “Assalamualikum”, “Walaikum salam…” Waduh ada kucing gareng” sambil tertawa agak jengkel juga dia kakakku Chika, tampak merangkak ke kolong meja, “lagi ngapain sih kak?” Kata-ku sambil menaruh tas di sofa, “lagi mencari serpihan hatiku yang hilang”, pikiran-ku langsung tertuju pada gelang hati miliknya yang berserakkan “yadoooh”, “baru pulang? kemana aja?”, “sekolah lah emang biasanya pulang jam segini kol!”, “kirain nongkrong dulu”, “nongkrong diamana? Lawson, 7 eleven? Warteg? Ya enggak lah,” “ya udah, mandi sana bau keringet kamu dek,” “iya tau hehe, mamah kemana ka?”, “di kamar tuh” setelah bersalaman dengan ibu ku langsung mandi dan sholat magrib setelah itu mengerjakan tugas puisi, ah sialnya kenapa puisi kenapa ga cerpen aja? Mana gak tau judulnya apa”, waktu isya sudah tiba dan begegas sholat setelah solat lanjut lagi mencari ide puisi. Yang kepikiran cuma gadis itu dan senyumannya yang dingin.
Alarm pagi di blackberry-ku dengan gemericik air dan suara burung membuat semangat dan ingin tidur lagi, tapi et hari ini ada tugas puisi nilainya harus di kumpulkan, “Ya Allah….” Sekolah itu membosankan!. karena biasanya ayah yang mengantarkanku berangkat sekolah” sekarang kak chika yang mengantar naik motor matic, sekalian dia pergi kuliah. sampai di kelas membosankan, another boring day and happend to me.
Tiba saatnya nama-ku dipanggil untuk maju, tidak punya bekal sedikit pun tentang puisi itu, harus siap mental jika nanti teman teman mencemooh-ku dari belakang, dengan spontan apa saja yang ada di benakku aku keluarkan dengan nada santai tenang dan mengalir hingga berakhir, serempak teman-teman menatapku dan guru-pun ternganga dan dapat tepuk tangan dan sorakkan yang meriah, tidak menyangka, dapat mengambil perhatian kelas dan kembali ke tempat duduk dan teman teman mengerumuni ku seperti lalat yang serempak menuju makanan sisa, “lo belajar dimana? , bikinin puisi buat gue dong, gila tadi keren baget, gue sampe terharu men” itu kata mereka semua dan aku hanya senyum datar aku pun lupa apa yang aku bacakan tadi di depan kelas secara itu hanya spontan dari otak dan hati.
Bel pulang sekolah berbunyi lagi dan satu lagi hari membosankan ini telah berakhir, kenapa aku tidak melihat wiranti di sekolah tadi?, ya sudah lah tidak penting. jalan pulang seorang diri di trotoar jakarta dengan cahaya mentari pukul 16:34, tempat makan sekaligus restoran cepat saji, pikir-ku mungkin segelas teh hijau rendah kalori membuatku kembali segar, membawanya ke meja kosong dan menyeruput segarnya sambil melihat ke jalan raya, suara khas klakson supir, Dengan riuhnya jalanan, sudut pojok itu dia? Kardigan ungu gelap sedang memainkan ponselnya, aku membawa gelasku dan duduk di mejanya, “boleh duduk di sini?” Dia menatap, tersenyum dan berkata, “boleh dong”, “tadi kok di sekolahan gue gak lihat lu ya?”, “masa? Padahal gue masuk”, aku hanya melihat mukanya yang murung karena kelelahan, kami pun terdiam, selang 2 menit, “Rezki Wiranti mau ikut gue gak?”, “kemana? Males gerak nih” “udah ayo!” Paksaku.
Di belakang supermarket itu aku tau ada bukit yang lumayan tinggi yang di bawahnya ada lapangan golf dan danau, pemandangannya cukup indah walau kita harus menanjak, “ini mau kemana sih?”, “pengen tau kan? Ya udah ikutin” dan sampai disana, atas bukit. Ya, Indah bukan pemandangannya?” “Waaah keren banget,” kagumnya, “walaupun jakarta punya kekurangan tapi ada sisi baiknya juga, “keren yah, pasti lu sering kesini?”, “baru pertama kali sih”, “loh kok tau tempat ini dari mana?”, “hehe bercanda, gue sering kesini sendirian”, “masa sih seharusnya lu kasih tau dong tempat ini sama orang lain”, “udah pernah waktu itu…”, “kenapa?” Diri ini hanya terdiam sambil menatap langit di sore dan di hiasi awan yang memancarkan garis cahaya. “Kenapa ki..?”, “eh engga engga gapapa”, “cerita aja..”. “Waktu itu sore pas hujan gerimis di sini, dia teman kecil gue, dan gua suka sama dia pas hari itu dia yang ngajak gue ke tempat ini, entah karena rumputnya licin gue sama dia jatuh menggelinding sampai ke pohon itu” sambil ku tunjuk pohon disana. “Lalu” tanya ranti, “lalu kepalanya terbentur dengan keras kejadian itu di depan mata kepala gue sendiri, sejak itu selama 2 tahun gue gak mau kesini lagi, dan itu mungkin kesalahan gue”, “itu kecelakaan dan lo nyalahin diri lo sendiri, namanya kecelakaan gak ada yang tau kecuali Allah ki”, “iya sih memang, tapi ya udah lah mungkin Allah punya jalan lain yang lebih baik”, “nah itu tau haha” ku lihat gadis itu masih memandangi langit. “Ranti, sebernarnya gue mau bilang sesuatu sama lo”, aku-pun memberanikan diri.
Asrinya lapangan golf dan Danaunya dihiasi oleh titik garis langit mentari di sore hari, matanya masih menatap-ku dengan polos indahnya, wahai lembayung senja jika engkau menyaksikannya, “lo mau ngomong sesuatu apa ki..?”, “ehmm gini gue mau bilang… gue tau ini pasti terlalu cepat, tapi gue juga gak mau nunggu lama?”, “kenapa apaan sih maksudnya?”, “Lu mau gak jadi pacar gua..?”, “ha apa?..”, aku melihatnya hanya terkekeh tertawa dan terbahak-bahak, “kok malah ketawa si…?” Tanya-ku heran sekaligus malu. “Gapapa heran aja… hahaha, gini ya bukannya gue nolak, gue itu belum pernah pacaran, lagian gue juga gak mau pacaran dulu, pacaran itu pasti akhirnya pahit, kalau sahabatan gak ada akhirnya”, “hmm gitu iya bener sih mungkin gue nya yang terlalu terburu-buru maaf ya”, “gapapa ya maaf juga gue gak maksud nolak”, “iya gue tau ya udah deh udah sore, takut nanti pulangnya gak dapet magrib..”, “iya yuk pulang”, “eh bentar gue bawa sepeda ki!”, “ya udah terus?”, “boncengan gue aja”, “masa cowok di boncengin cewek?” “Udah gapapa naik buruan,” sambil tersenyum ya sudahlah biar saja, mumpung ada ojek sepeda tukang ojeknya cantik pula, Saat bersepeda menuju jalan pulang, ada sebuah turunan yang curam di depan kami.
“Ki, berani gak?” Tanyanya.
“Turunan doang? Berani lah.”
“Tapi gak pake rem.”
“Terus berentinya gimana?”
“Detak jantung kita yang berentiin.”
“Mati iya deh.”
“Berani gak, ki?”
“Siapa takut.” Balas-ku sambil memegang jok dengan kuat.
dia hanya mendorong sedikit sepedanya dan sepeda melaju kencang, kurasa angin menghembus seragam-ku. Dan aku merasakannya.
Cerpen Karangan: Muhammad Dhanu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar