Jumat, 15 November 2013

Cerpen - It Was Too Late

“Gue bete ah, bete banget, bete banget!!”
“Heeh, kenapa sih?”
“Si Hadi. Terlalu perhatian sama gue. overprotective banget. inilah, itulah. Lo tau kan gue orangnya bebas banget, gak suka digituin”
“Lah, bukannya lo yang mau?”
“Maksud lo?”
“Ya waktu Hadi nembak lo, kan lo yang ngajuin syarat kalau dia harus perhatian. gak boleh cuek. harus sayang banget sama lo”
“Tapi gak gitu juga kaleee”
“Hmm.. terserah lo deh. Hadi gitu kan karena dia sayang banget sama lo.”
“Heuuh, lo mah malah belain dia, bukannya belain gue. buat apa gue curhat sama lo”
Drrt drrt
Hpku bergetar. Aku bersungut sambil melihat layer hp. HADI. mau ngapain sih? merusak kebahagiaan orang lain aja bisanya.
“Sis, si mister perhatian telfon. Udah dulu ye. Byeee”
Aku memutus sambungan telefon Siska dan langsung mengangkat telfon dari Hadi, pacarku, tepatnya pacarku yang sudah sangat ingin aku tinggalkan.
“Halo..” sapaku ramah – tepatnya berpura-pura ramah, sambil tersenyum
“Hei. Belum tidur?” balas suara berat di ujung sana.
“Hehe. Udah nih”
“Dasar.. kenapa ngga tidur? udah malem loh ini”
“Iya belum ngantuk aja. Kamu kenapa gak tidur?”
“Ya kan aku kudu ngecek kamu dulu. Hehe”
Aku memutar bola mataku, ‘lebay..’ sungutku pelan
“Oh. Hehe. Eh, aku mau tidur dulu ya.” ucapku, mempersingkat percakapan. lalu menguap seolah-olah aku benar-benar sudah mengantuk.
“Oke oke. Gosok gigi, cuci muka, cuci kaki, dan berdoa sebelum tidur”
Aku memutar bola mataku lagi, sebal
“Ya.. ya.. ya..”
“Ya udah. selamat tidur ya sayang. Jangan lupa yang aku pesenin! good night, love you..”
Aku menutup telfon tanpa membalas ucapan Hadi.
Aku melempar tubuhku pelan dan memejamkan mata. Lalu bangkit. Sial, aku hampir lupa gosok gigi, cuci muka, cuci kaki dan berdoa. Ritual wajib ala si mister perhatian atau Hadiputra Pratama itu. kenapa juga aku harus merasa bersalah kalau aku tidak menjalankannya? Uft.
Semua bermula dari dua setengah bulan yang lalu. Hmm, hebat bukan aku bisa bertahan selama ini?
Waktu jam istirahat, Hadi yang sebenarnya teman dekatku itu tiba-tiba menghampiriku. tidak ada yang aneh, semuanya biasa saja hingga aku menyadari ada yang beda dari raut wajahnya siang itu. tidak, bukan Hadi yang periang yang selalu menyapaku dengan senyum lebarnya. tapi mukanya serius, seolah-olah sesuatu yang penting akan terjadi.
“Dita” ia terlihat meremas ujung hem sekolahnya, gugup, menatapku dan kakinya bergantian
“Apa?” tanyaku, sambil memiringkan kepalaku.
“I wanna tell you something..”
“ya?” aku mengangkat alisku.
“Dita akuu, aku suka sama kamu. Aku sayang, aku cinta sama kamu” katanya gugup dengan kecepatan cahaya
Aku terdiam. Butuh waktu beberapa detik untuk aku bisa mencerna kata-kata Hadi
“Sorry?” kataku pelan
Hadi menghela nafas panjang. Menggaruk kepalanya, menoleh kesana kemari. Gelisah. Dia menggigit bibirnya, gugup lagi. Mungkin mencari kata-kata yang pas. Atau entah apa yang dia pikirkan. Aku terdiam, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Aku mau kita pacaran”
Aku terdiam lagi. pacaran? aku memang sudah dekat dengan Hadi, aku sayang Hadi, tapi bukan seperti ini. Aku bahkan sudah menganggapnya sebagai saudaraku sendiri. Tapi aku tidak bisa menolaknya dengan cinta yang mungkin sangat banyak yang ia bawa untukku. Aku tidak akan bisa melihat wajah tampannya sedih.
Aku mengangguk pelan.
“Oke. Aku.. turutin mau kamu”
Sesuatu yang hangat terasa mengalir di tubuhku. Mungkin wajahku memerah malu. Hadi tersenyum lebar. Senang. Kacamatanya terangkat mengikuti pipinya yang juga terangkat karena senyumnya. Tapi kenapa aku merasa ada yang salah. Tiba-tiba merasa gelisah. Aku tidak tahu ini jawaban yang tepat atau bukan, aku terlanjur mengatakannya.
“Beneran?” Tanya Hadi dengan wajah sumringah. Aku mengangguk dan tersenyum, hambar. Hadi menarikku, membawaku ke dekap dadanya yang hangat, membiarkan kami menjadi bahan tontonan adik kelas yang seliweran di kanan-kiri kami.
Dua bulan lebih dua minggu aku menjalani hubungan ini. Ralat, hubungan hambar ini. Aku selalu ingin merasa menyerah. Hadi sangat baik – terlalu baik. Ia membuatku sukses kenyang dengan semua perhatian dan kasih sayangnya, tapi itu bukan yang aku mau. Aku bukanlah seorang perempuan lemah yang tidak bisa hidup tanpa pangerannya. Tapi kenapa berat sekali rasanya mengucap putus pada Hadi. Aku tidak bisa kehilangan wajahnya yang selalu terlihat tulus.
Seandainya keadaan bukan seperti ini, seandainya hatiku bisa dibalikkan. Sesungguhnya tidak ada cela pada diri Hadi, itu kata Siska, dan aku tidak bisa tidak setuju dengannya. Di mata semua orang, Hadi memang sempurna. Di mataku, Hadi tak lebih hanya seorang laki-laki protektif yang menganggapku – entahlah – segala yang kulakukan harus berasa di bawah pengawasannya.
Andaikan Hadi tau kalau aku suka sama orang lain. Bima, anak kelas sebelah. Mungkin Hadi akan marah, mungkin dia akan sakit hati. Apalagi kalau dia tahu aku tidak sepenuhnya mencintainya. Mungkin Hadi akan meminta kami untuk putus, tapi bukankah itu yang kami harapkan?
“Sayang!”
Aku menoleh. Sial, obrolanku dengan Siska terganggu lagi. Hadi dengan wajahnya yang berkeringat karena baru selesai latihan basket menghampiriku dengan agak tergesa.
“Hei” kataku sambil tersenyum semanis mungkin
“Belum pulang?” tanyanya sambil duduk di sampingku. Aku menggerutu pelan.
“Belum, nunggu kamu beres latihan.. hehe”
‘bohong!’ kataku dalam hati. Aku disini karena ingin melihat Bima yang kebetulan tim basket juga bareng Hadi. Seandainya hari ini Bima tidak latihan pun aku pasti sudah enak-enakan di rumah saat ini.
“Haha. Makasih. Tapi habis ini aku kerja kelompok nih. Kamu pulang duluan ya”
“Ehm..”
Aku menautkan kedua alisku ragu. Hey, perasaan macam apa ini. Kenapa tiba-tiba, secara misterius, aku ragu meninggalkan Hadi. Kenapa rasanya ada sesuatu yang berat dan mengganjal. kenapa aku tiba-tiba tidak ingin pulang.
“ngga apa-apa kan? duh, maaf ya..” katanya rikuh. Merasa tidak enak.
“iya ngga apa-apa. Lagi ada Siska.” kataku, mencoba tersenyum. Padahal sekali lagi aku merasa bahwa aku tidak seharusnya pulang dan tetap disini.
“Ngg, kalau kamu mau bawa mobilku aja deh” katanya sambil merogoh saku celananya.
“Ngga apa-apa sayang, aku naik bis aja”
“Yakin?” tanyanya sambil menaikkan sebelah alisnya. Aku mengangguk ragu.
“Oke.. aku masuk dulu yaa” katanya sambil bangkit lalu membalikkan badan dan berjalan menjauh. Ada sesuatu yang aneh di diriku. Rasanya sangat berat. Sesuatu yang melarangku untuk pulang. Sesuatu yang mengharuskanku tetap di sekolah dan tidak pulang tanpa Hadi.
“Hadi!”
Aku berlari ke arahnya dan langsung memeluknya punggung tegasnya. Hadi terlihat bingung dan kikuk. Aku membiarkannya. Mengeratkan pelukan, tidak ingin melepasnya. Hadi memutar badannya.
“Ke-kenapa?” tanyanya sambil memegang kepalaku
Aku melepas pelukan dan menatap wajahnya. Sayu. Wajah Hadi sangat sayu, dan terlihat pucat. Hadi tidak sakit, dia bukan pria yang lemah, aku tahu persis akan hal itu.
“kenapa sih? ada apa?”
Aku menggeleng kikuk. Menggaruk kepalaku yang tidak gatal sama sekali, bingung dengan apa yang baru saja aku lakukan barusan.
“ngga apa-apa. Hehe”
Hadi mencium dahiku lembut, tiba-tiba. Lalu mengacak rambutku dan tertawa lebar melihat aku yang sebal karena ulahnya.
“Pulang sana! Cepeet! Hush hush” katanya sambil mendorongku pelan sambil tersenyum
“Iiih. Ya udah, pulang deh.” Kataku sambil tertawa. Kali ini aku merasa tawaku tidak hambar seperti biasa.
“Daah” katanya sambil melambaikan tangan dan tersenyum. “Hati-hati di jalan!”
Aku mengangguk dan menggandeng Siska untuk pulang. Hari ini ada les, dan aku tahu persis kalau aku akan terlambat seandainya aku tidak segera pergi ke tempat les.
Aku mengeringkan rambutku menggunakan handuk. Segar sekali rasanya setelah seharian sekolah dan dijejali materi-materi super rumit dan langsung pergi ke ke tempat les.
Aku merebahkan tubuhku. Meraih hpku yang mati karena habis baterainya, lalu menyalakannya setelah terlebih dulu menghubungkannya dengan charger.
Tiba-tiba hpku bergetar. Bukan sms tapi telfon. Biasa, mister perhatian.
“Halo..” sapaku
“Dita”
Yang kudengar bukan suara Hadi yang berat dan hangat seperti biasa, tapi suaranya yang dingin dan keras yang membuatku sedikit merinding.
“kenapa?”
“Aku sayang kamu, kamu tau itu?”
“Ya..” kataku ragu.
“Dan selamanya akan tetap gitu, kamu tau itu?”
“Emm, mungkin”
“Aku kasih tau. Aku sayang kamu dan seterusnya akan seperti itu. Dita, kamu segalanya untukku. Selamanya.”
“Hadi, kamu kenapa sih? Kok lesu gitu? Kok tiba-tiba ngomong gitu? Haloo, Hadi?? Halo- halo”
Telfon terputus dengan cukup aneh. Aku mengerejapkan mataku dan menatap ponselku sambil berfikir keras kira-kira apa yang terjadi
“Sekilas info. Telah terjadi kecelakaan maut di dekat stasiun kereta. Sebuah Toyota Camry berwarna silver hancur dihajar kereta api saat sedang melintasi rel. Korban adalah seorang laki-laki diperkirakan berusia sekitar delapan belas tahun. Polisi masih menyelidiki penyebab terjadinya kecelakaan ini. Diduga pengemudi lalai dan tidak mendengar bunyi pada pintu rel, lalu tetap melaju karena palang rel sedang rusak. Menurut saksi..”
Bergetar, aku menengok kearah tv yang menyala. Rute rumah Hadi dan sekolah memang melewati rel kereta. Ditambah kendaraan yang kecelakaan tersebut Toyota Camry silver, itu mobil Hadi. Di tv ditayangkan kondisi mobil yang ringsek, dan beberapa orang yang menggotong korban keluar mobil. Aku memperhatikan tv dengan lebih saksama.
“Diketahui dari kartu pelajar yang terdapat di dompet korban, korban adalah seorang pelajar di SMA Khatulistiwa bernama Hadiputra Pratama. Korban akan segera dilarikan ke…”
Hpku bergetar. Sms.
From: Siska Centil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar