Senin, 11 November 2013

Cerpen - Karena Aku Malaikatmu

Tak pernah ku bayangkan sebelumnya hidupku akan berubah sejauh ini. Semuanya berawal dari sebuah pertemuan singkat yang membuatku tak akan pernah mengerti bagaimana itu terjadi. Sebuah perasaan aneh terus menghantuiku. Rambut pirangnya yang ikal terurai, sorot bola mata yang seakan penuh harap, senyum dari bibir mungilnya yang seakan menjerat siapa pun yang melihatnya. Aku tak dapat menggambarkan lebih dalam lagi, ia sangat misterius.
Hari itu adalah hari peringatan kematian keluargaku namun tak sedikit pun kesedihan muncul dalam raut wajahku. Dengan membawa seikat bunga, aku berjalan dengan malasnya ke pemakaman. Aku berdiri termenung menatap jajaran batu nisan keluargaku. Aku berjalan dan meletakkan seikat bunga di atas batu nisannya. Aku masih tak dapat memaafkan mereka. Bagaimana bisa mereka meninggalkan aku untuk berlibur ke Los Angeles, tetapi sekarang mereka tak akan pernah kembali. Tanpa pikir panjang aku berjalan meningggalkan nisan keluarga itu.
Ketika aku berjalan pergi, aku berpapasan dengan seorang wanita. Ia berjalan sambil memeluk seikat bunga mawar merah yang mulai menghitam. Tatapan matanya memandang kosong ke segala arah. Aku tak tahu siapa dia, tapi dia telah membuatku terus terpaku memandangnya. Ia terus berjalan melewati nisan-nisan lainya. Gadis itu lalu duduk mematung di depan sebuah batu nisan. Ia mengusapnya dan memandang dengan tatapan kosong seakan memikirkan sesuatu. Aku terus mengamatinya dari kejauhan. Kemudian aku lihat dia mengeluarkan benda kecil dan mengarahkannya pada tangannya. Ia terus menangis di situ dan mendekatkan benda kecil itu ke tangannya. Sepertinya ia ingin mengakhiri hidupnya. Tanpa pikir panjang aku berlari dan mencegahnya.
Dengan air mata yang masih membasahi pipinya, ia menatap mataku. Dengan tatapan nanar dari matanya yang seolah memendam kesedihan seumur hidupnya. Aku menarik tangannya dan membantunya berdiri, tapi ia tidak menerima bantuanku. Ia berdiri dan berjalan meninggalkanku sambil memeluk lagi seikat bunga mawar itu. Ada apa dengan gadis itu?
Suatu sore aku berjalan menuju taman, saat itu sedang musim gugur jadi ku putuskan menghabiskan waktu ku di situ. Ketika sedang asiknya membaca buku sambil mendengarkan musik di bawah pohon, aku melihat gadis yang beberapa hari lalu aku lihat di pemakaman. Aku bangkit dan berlari mengejar gadis itu. Gadis itu menghilang, kemana dia. Aku terus mencarinya. “Itu dia” kataku.
Ia duduk di sebuah kursi kayu panjang dengan mata terpejam. Angin sore berhembus menerpa wajahnya, cantik sekali. Secepat kilat aku menegeluarkan ponselku dan memotretnya. Aku berjalan dan mendekatinya.
“Hai aku Davis, kamu siapa?”
Ia lalu terbangun dari lamunananya dan menatapku dengan muka yang memerah padam. Sepertinya aku telah mengganggu waktu bersantainya. Ia hanya terdiam dan berlalu dariku. Ia seakan-akan tidak ingin berada di dekatku. Baiklah mungkin ia sedang bad mood.
Karena sepanjang bulan ini masih musim gugur, tiada salahnya jika aku menghabiskan setiap sore untuk keluar rumah. Aku keluar dan menuju ke dalam mobil. Cuaca sore ini sangat indah, aku pergi menuju ke kedai teh yang tak jauh dari pusat keramaian taman kota. Aroma tehnya benar-benar membuat pikiranku tenang. Ketika meminum teh sambil menikmati suasana sore kota Paris, aku melihat gadis itu lagi. Aku berlari keluar dari tempat itu.
“Hei anak muda, kau belum membayarnya!” teriak si pemilik kedai teh.
“Uangnya aku tinggalkan di atas meja!”
Aku berlari mengejar gadis misterius itu. Aneh sekali, aku selalu tak pernah dapat menemukannya. Aku bergegas masuk ke mobilku. Aku harus mengejarnya, ia pasti belum pergi jauh. Aku terus mengemudikan mobilku menyusuri kota. Sepertinya sengatan matahari sore musim semi telah membuat bajuku basah oleh keringat. Ketika hendak pulang aku melihat gadis itu tengah berjalan di kerumunan orang. Lagi-lagi aku berlari mengejarnya dan melewati kerumunan orang banyak yang tengah menghabiskan waktu sorenya di kota.
“Permisi..”
“Oh maaf telah menabrakmu”
“Permisi, biarkan aku lewat”
Karena berlari di tengah kerumunan orang, lari ku terhambat. Sial, aku kehilangan dia lagi. Sebuah benda berwarna pink tergeletak di jalan. Aku memungutnya dan membukanya perlahan. Bertapa terkejutnya diriku melihat bahawa pemiliknya adalah gadis itu. Tadinya aku berniat menyerahkannya ke kantor polisi, tetapi mungkin benda itu dapat membantuku jadi tidak akan aku serahkan. Sesampainya di apartement aku lalu mandi untuk menyegarkan badanku setelah kejadian sore tadi.
Setelah menyantap makan malam, aku duduk di depan TV yang menyala sambil membuka isi dompet itu.
“Mectha?”
“Mectha Rosiene, pernah kuliah di Sorbonne University”
Mungkin aku bisa mengenalnya lewat situs network. Kuambil laptop dari kamarku dan duduk lagi di depan TV. Mectha Rosiene. Nihil, tak ada satu pun accountnya di situs pertemanan. Semalaman itu aku masih terus mencari dan berharap mungkin aku bisa menemukannya. Aku tidak menyadari bahwa aku tertidur di depan TV hingga pagi. Ketika melihat ke arah jam dinding, bertapa kagetnya aku saat itu. Kacau kelas dimulai lima menit lagi. Dengan segera aku mengambil tasku dan menuju ke mobil. Untunglah aku tidak terlambat. Seusai pelajaran aku menghampiri Nick, dia adalah sahabat baikku.
“Hei bro, how are you?”
“Fine” kataku.
“Nick, aku ingin menyanyakan sesuatu padamu”
“Tentang Kanya?”
“Ini bukan soal Kanya. Ini soal Mechtha Rosiene, apa kau kenal dia. Kudengar dulu dia sempat kuliah di sini”
“Mectha Rosiene?. Dulu memang pernah kuliah di sini, tapi setelah kematian kekasihnya dia keluar dari tempat ini”
“Oh jadi begitu”
Hanya sebatas itu yang aku tahu, harus mencari tahu lebih dalam lagi. Kuputuskan sore itu akan ke pemakaman, aku harus tahu siapa nama yang dulunya menjadi kekasih Mectha. Mudah saja aku menemukannya, akan tetapi ada yang aneh. Sepertinya gadis itu baru saja meninggalkan makam ini, ia meletakkan bunga mawar yang kehitaman di atas batu nisan Joana Ricky. Aku mengelilingi tempat itu, mungkin ia masih ada di tempat ini. Lagi-lagi, cepat sekali dia pergi meninggakanku. Ia seakan tidak ingin jika aku terus mendekatinya, memangnya apa yang salah denganku. Aku baru ingat, dompetnya mungkin bisa memancingnya kembali.
“Mectha, benda berwarna pink ini milikmu bukan” aku berteriak.
“Bisakah kau serahkan itu dan pergi dariku sekarang” katanya tiba-tiba.
“Tidak, sebelum kau tunjukan padaku siapa dirimu sebenarnya!”
Hebat, caraku berjalan dengan baik. Dia benar-benar menampakkan dirinya secara langsung di depanku. Sekarang aku bisa melihatnya dari dekat. Dia sama seperti yang aku lihat sore itu ketika sedang duduk di taman. Cantik sekali dengan rambut ikal yang terurai, kulit yang putih mulus bak porselen.
“Serahkan itu!”
Aku mengulurkan dompet itu di tanganku. Ketika ia akan mengambilnya dariku, secepat kilat aku menarik tanganya. Aku akan membawanya ke taman ketika aku melihatnya sore itu duduk di bangku taman.
“Katakan siapa dirimu sebenarnya”
“Pergi dan menjauh dariku atau kau akan mati bersamaku”
“Apa maksudmu aku akan mati”
“Aku bermimpi semua yang akan terjadi dalam hidupku, semua orang yang ada di dekatku”
“Maksudmu de javu?”
“Jadi sebaiknya kau tinggalkan aku jika tidak ingin mati bersamaku. Aku tak mau lagi ada orang yang ditakdirkan akan mati bersamaku. Aku tak mau kau seperti Joana, ia mati karena salahku. Seharusnya aku katakan kepadanya dari awal bahwa ia akan mati jika bersamaku.”
Ia menangis, raut mukanya dibasahi oleh air mata. Sepertinya ia memang benar-benar menanggung beban dan rasa bersalah yang sangat besar. Aku menghargai maksudnya. Aku tidak akan lagi mengganggunya.
Ketika di malam musim dingin, aku pergi ke luar untuk makan ke luar bersama teman-temanku. Kami pergi ke pusat kota. Perlahan mulai melupakan kejadian ketika aku bertemu dengan gadis itu dengan bersenang-senang. Tetapi mungkin aku telah ditakdirkan untuk menjadi penyelamatnya ketika maut akan datang padanya. Di tengah acara makan malam, aku pergi untuk keluar sebentar. Ketika aku melihat gadis itu berjalan sendirian pada saat lampu merah, aku membuang pandanganku darinya. Lampu berubah menjadi hijau ketika ia masih berjalan di tengah jalan raya. Aku berlari ke arahnya dan menarik tanganya. Ia jatuh tepat ke pelukanku, nyaris saja akan mati.
“Kenapa kau muncul lagi, bukankah sudah kukatakan kau pasti akan mati jika bersamaku. Kau nyaris mati tertabrak tadi” katanya sambil menangis.
“Aku tak tahu apa yang membuatku terus berbuat seperti ini. Aku hanya mengikuti kata hatiku membawaku. Mungkin aku ditakdirkan untuk menjadi malikat penyelamatmu”
“Ikut aku” kataku sambil berlari menarik tanganya.
“Kita akan kemana?”
“Sudah ikut saja”
Aku membawanya ke tempat pusat perbelanjaan berbagai mode pakaian di Paris. Aku berjalan melewati sederet pakaian-pakaian mewah berlabel ternama dan menuju ke tempat pajangan koleksi topi mewah. Aku mengambil salah satu topi berwarna pink berbahan wool. Setelah membayarnya, aku lalu memakaikanya ke kepalanya.
“Pakai itu. Kau tampak cantik jika memakainya. Beberapa hari yang lalu ketika kita bertemu, aku melihat topi ini di etalase toko. Kupikir ini cocok jika untukmu ternyata benar”
“Mengapa, kau lakukan semua ini untukku?”
“Anggap saja ini hadiah dari malaikat penjagamu”
Saat ini tugasku adalah untuk menjaganya. Aku harus menjaga Mectha. Karena aku telah ditakdirkan untuk bersamanya dan melidunginya.
Cerpen Karangan: Birgita Feva Nurregina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar