Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Last Prom Night With My Soulmate

Tak ada yang mengajariku tentang bagaimana cara memperlakukan orang yang aku cintai. Karena cinta sesuatu yang alami. Setiap orang memiliki cara yang berbeda untuk menunjukkan rasa cintanya itu. Termasuk Diar. Dia telah memberikan cinta yang sulit untuk kupahami. Dan aku…?, hanya seorang gadis yang terlalu naif untuk sekedar mengatakkan. Diar bantu aku memahamimu…!!. Selama ini aku berpura-pura menjadi orang yang paling mengerti tentang pemuda itu. Aku hanya tak ingin ada yang berubah dan cinta kita tak cepat berujung seperti kisah pasangan-pasangan muda di luar sana.
Di pinggir lapangan Indoor aku memandangi kelincahan Diar memainkan bola basketnya. Aku tak pernah absen memberikan support meski hanya dari pinggir lapangan, walaupun mungkin Diar tidak menyadari kehadiranku. Lelaki itu benar-benar tampan menjadi bintang di tengah lapangan. Menjadi pusat perhatian, bahkan membuat histeris para penggemar yang sebagian cewek-cewek yang hanya tau bagaimana cara membenarkan bedaknya saja. Bahkan tak jarang aku mendapatkan tatapan sinis dari para gadis itu Mereka seperti tak rela melihat kami bersama hanya karena aku seorang siswi biasa yang bertahan di sekolah dengan mengandalkan beasiswa dari para malaikat pemerhati pendidikan. Namun tampaknya hari ini ada sedikit keberuntungan yang tak sengaja menghampiriku, tiba-tiba tatapan Diar tertuju padaku. Ia tersenyum begitu manis. Dan itu sesuatu yang patut aku syukuri. Meskipun ia terlalu dingin untuk menunjukan perasaannya padaku, apalagi di hadapan sahabat-sahabatnya. Karena terlalu memikirkan arti tatapan Diar, tampaknya aku sedikit lengah tak menyadari ada sebuah bola melambung tanpa dosa di atas kepalaku, dan akhirnya, Duagg!, O..oWw… pendaratan yang tak sempurna.
“Aww.!!”
Melihat aku meringis kesakitan Diar dengan beberapa awaknya menghampiri keberadaanku, dan dari situlah sebuah senyum menjengkelkan terlukis di bibirnya.
“Makanya, jangan terlalu terpukau liat gue main basket!” Timpalnya lalu pergi setelah berhasil membuatku geram.
“Diar jelek…!!” Pekikku merasa tersinggung atas perlakuan pemuda itu. Dia benar-benar tidak tau bagaimana memperlakukan wanita dengan baik. Aku masih tertegun ketika salah satu dari sahabat terdekat Diar menghampiriku.
“Des, lo baik-baik aja kan?” Tanya Riski dengan seragam basket yang masih dibasahi oleh keringat.
“Kapten loe itu bener-bener Raja ngeselin ya, kayaknya pas pembagian perasaan sama Tuhan dia absen deh” Kataku mulai mengucapkan kalimat yang tak logis. Maklumlah, cewek mana yang bisa terima jika diperlakukan seperti itu di depan orang banyak. Hemmt, tapi sepertinya aku tidak termasuk ke dalam kategori itu. Buktinya, meski sering diperlakukan tidak adil aku masih saja setia menjaga cinta yang terkesan rumit.
“Dih. Gitu-gitu juga Diar cinta mati sama loe” Tukas Risky masih konsisten membela Diar.
“Hizztt. Makan tuh cinta!!” Celetukku semakin gondok mendengar kalimat Risky.
Aku benar-benar prihatin pada diriku sendiri. Bagaimana tidak…? Bukankah begitu menyedihkan untuk seseorang yang memiliki kekasih harus melakukan semuanya sendirian?, termasuk siang ini. Untungnya aku sudah cukup kebal mendengar kalimat sengit dari mulutnya. Aku berusaha tegar, tetap mempertahankan senyum keramahan kepada setiap orang. Aku butuh passion untuk sekedar memberikan kekuatan padaku. Setidaknya membantuku untuk kembali berbaur dengan teman-teman sebayaku. Aku tidak ingin terlihat lebih tua dari usiaku karena terlalu memikirkan Diar. Dengan wajah tegap aku berjalan menyelusuri lorong-lorong sekolah membangun suasana seolah tidak terjadi apa-apa. Risa tengah ongkang-ongkang kaki di atas meja ketika aku sampai di depan kelas. Tidak ada siapapun di sana, hanya ada gadis tomboy itu beserta alat-alat sekolah lainnya yang tampak mulai lusuh,
“Aiisshh. Ini kelas apa kuburan?” Tanyaku keheranan.
“Prom Night benar-benar monster yang paling menyeramkan. Loe juga pasti datang kan des sama Prince Diar” Hufft, pertanyaan yang sama sekali tak kuharapkan.
“Hemt, Diar tau besok Prom aja udah suatu anugerah luar biasa”
“Waww. Are you sure..?” Tanya Risa dengan gaya bicara sok kebarat-baratan.
“Diar itu terlalu spesial, makanya gue juga harus memperlakukan dia dengan cara yang berbeda dengan cara orang lain memperlakukan dia. Karena cowok kaya Diar Limited edition” Papar Dedes membuat Risa hampir ngiler saking irinya. Namun, aku menunda kelanjutan kalimatnya ketika telingaku menangkap suara langkah kaki seseorang yang semakin menonjol. Diar ditemani Riski muncul dari balik pintu kelas bak seorang pangeran bersama ajudannya.
“Des, nanti gue mau ajak loe ke sebuah tempat” Kata Diar pendek saja, lalu ia meneruskan langkahnya tanpa meninggalkan barang sepatah katapun. Tatapannya yang dingin semakin membuatku frustasi.
“Cukup yar!!, Ini nggak adil. Gila ya… kayaknya ada kesalahan dengan cinta gue.” Kataku tak tanggung-tanggung. Kalau boleh jujur, sebenernya tidak tega melihat tampang Diar yang kalem. Rasanya terlalu kejam memperlakukan Diar sekasar itu. Tapi selama aku tetap diam terhadap sikap semena-mena Diar, selamanya pula aku hanya akan menjadi bayangan tabu di dalam hidupnya.
Kali ini giliran Diar yang tertegun. Ia seperti khawatir melukai hati kekasihnya. Karena meski sikapnya dingin, namun, demikianlah cara lelaki itu mengekspresikan rasa cintanya.
Aku benar-benar tersinggung dengan sikap Diar yang semakin membuatku beku. Aku juga butuh kehangatan. Bukankah seharusnya cinta itu yang memberikan kehangatan?… Haruskah aku mencari kehangatan lain dari cinta yang lain juga?. Iyah, mungkin itu akan terjadi jika aku tidak terlanjur cinta padanya.
Selepas bel tanda pulang berdengung, aku sengaja melenggang sendirian di tengah orang-orang yang berjalan saling berpasangan. Bisakah mereka mengerti perasaanku…?. Seenaknya bergandengan tangan di depan orang yang sedang meratapi kisah cintanya (hei.. it’s me). Di mana si letaknya keadilan…?. Di saat mereka memadu kasih, aku masih bertahan di atas perih.
Hemmm… Aku mendengus. Aroma ini benar-benar tak asing. Masih sama seperti pertama bertemu. Aroma ambers yang memberikan kesan misterius yang di bawa pemuda itu. Aroma vanilla, bunga-bungaan, dan wood ini sangat cocok dengan mood Diar yang pasang surut jarang stabil,
“Des, Ayolah!!, jangan keras kepala”
Suara itu semakin meyakinkanku bahwa Tuhan lah yang terbaik.
Aku pura-pura acuh mengabaikan sumber suara itu. Mungkin sesekali Diar yang harus mengalah padaku. Akhirnya Diar mematikan mesin motor sportnya. Kali ini dia berjalan di sampingku
“Dingin ya, des” Katanya. Dan sepertinya aku kembali menemukan letak kehangatan lelaki itu, apalagi setelah ia menggenggam telapak tanganku dengan erat. Dan ini momen terindah selama setahun masa jadian kami. Aku sengaja tak banyak bicara, tak ingin merusak suasana. Sampai kami berhenti di sebuah danau buatan yang biasa kami lewati. Diar menarik telapak tanganku lalu kami duduk berdekatan seperti remaja yang baru jadian.
“Diar, Kamu pernah bilang kalau cinta itu ketika kita bahagia saat melihat orang yang kita cinta bahagiakan?”
“Iya. Kenapa?”
“aku nggak pernah lihat kebahagiaan itu di mata kamu, jadi, Ayo yar, kita akhiri sampai di sini saja.” Kataku memberanikan diri.
“Zzzttt. Itu kalimat yang paling aku benci, des”
“Oh ya?, Kalau begitu bantu aku untuk memahami kamu yar. Karena aku berfikir kamu akan baik tanpa aku”
“Maaf, Tapi, aku nggak bisa pura-pura sempurna, Ini caraku untuk mencintai kamu des.” Timpalnya membalikan pandangan dariku. Kali ini tatapannya tampak mengambang seperti bunga teratai yang mengambang di atas danau.
“aku rasa kamu belum memahami cinta, yar. Cinta bukan begini.” Kataku berusaha menyanggah.
“Des, kamu hanya perlu percaya, karena tanpa kamu, aku yakin diar tidak akan ada” Ucap Diar sungguh menghangatkan. Aku sendiri tidak yakin apakah kalimat itu keluar dari mulut diar…?, Apakah lelaki di hadapanku yang selama ini membuat malamku terjaga…?
Sore itu berakhir dengan sebuah kecupan manis di keningku, tak tahu apakah esok aku masih bisa bertemu dengan sosok Diar yang semanis ini…
Hari ini Prom Night tanggal dua belas Juni, itu berarti hari jadian kami yang pertama. But I think there is nothing special, bahkan hari ini tidak lebih buruk dari hari sebelumnya. Dengan perasaan rikuh aku memandangi Diar yang saat itu tengah berbincang-bincang akrab dengan Riski. Seperti ada sebuah batu besar yang menahan langkahku. Aku tidak memiliki keberanian seperti biasa untuk bertemu dengan lelaki itu. Aku seperti seorang pecundang. Hanya bisa menikmati wajah Diar dari kejauhan. Aku hanya tak ingin kembali menelan kekecewaan darinya. Aku juga tak ingin membuat layu perasaan berbunga yang baru kemarin sore ditanam oleh Diar.
“Woi, des. Sini!,” Pekik Riski dari seberang lapangan. Aku ragu akan melangkah sampai Riski datang lalu menarik lenganku ke tengah lapangan di mana Diar masih dengan nafas terengah-engahnya.
“Okey, gue balik, yar, des, jaga kapten gue baik-baik lo!” Kata Riski sedikit membuat otot-ototku kendur. Bagian ini yang paling aku benci. Aku melihat wajah Diar, wajahnya benar-benar menyebalkan apalagi ditambah dengan senyum hambarnya. Raut wajahnya seperti menggambarkan betapa kedatanganku sangat tidak diharapkannya.
“Yar, kita datangkan ke acara sekolah nanti malam”
“acara apa?, kok gue nggak tau ya” Tukas Diar masih konsisten dengan gaya bicaranya yang cuek.
“tapi, loe tau kan hari ini hari apa..?”
“Sorry, gue mau lanjutin latihannya” Kata Diar hampir membuatku patah hati.
“Diar. Kenapa si loe harus berbeda dengan orang lain?, loe terlalu spesial, yar. Bahkan karena terlalu spesial kadang gue nggak tau bagaimana cara mempelakukan loe”
“Inilah gue. Kalau loe nggak bisa terima sikap gue, berarti loe nggak mencintai gue karena gue Diar” Ucap Diar malah menantang ucapanku. Padahal aku berharap lelaki itu akan datang menghampiriku lalu berkata. Dedes maaf, Aku mencintaimu. Setelah itu dia akan merangkul pundakku sehingga membuat gadis-gadis di sekitarnya akan merasa iri padaku. Namun, itu semua hanya sepintas anganku. Pahit memang, tapi, aku hanya bisa menerima, masih dengan alasan yang sama. Aku sudah jatuh terlalu dalam dan tampaknya akan sulit untuk mencoba mendaki keluar dari hatinya,
“Cukup, yar. Okey, aku anggap ini sebagai bonus dari hubungan kita” Kataku tak tahan lagi.
Untuk kesekian kalinya lelaki itu membuatku jengkel. Dan untuk kesekian kalinya juga aku begitu mudah memaafkannya. Jantungku berdegup keras menyaingi dengungan bel yang hampir ikut membuatku gila. Seperti ada suara sirine yang mengiang-ngiang di telingaku.
Malam ini di bawah keremangan lampu jalanan aku dalam perjalanan pulang ditemani rasa yang hampa. Setiap kali bertengkar dengan Diar aku tidak dapat menunjukkan muka temaramku di hadapan keluarga yang senantiasa menunggu kedatanganku. Apalagi menyadari kepulanganku yang terlambat hari ini. Namun, ketika kakiku sampai di depan rumah bukan pemandangan itu yang aku lihat. Sejenak aku mendongakkan wajahku ke langit, barangkali ada hujan dan aku tidak menyadarinya. Entah apa yang membuat wajah lelaki yang selalu mengingatkanku dengan Diar itu kerajinan nampang di depan pintu rumah. Aku tersenyum kecut sementara matakku sebenarnya tengah berkeliling barangkali ada Diar, hemm, ini sungguh memalukan, aku masih saja mengharapkan kedatangan lelaki itu. Sebenarnya apa yang terjadi pada diriku. Gilakah aku?. Pikiranku yang tadinya mulai beralih dari Diar tiba-tiba menggempur deras dihujani nama Diar. Diar. Diar. Enough!!, ini terlalu mengerikan, so, help me my mind, just stop thinking about him I want to get back to normal.
“Dedes!” Panggil Risky untuk kesekian kalinya.
“Hem, Risky, Sendirian?” Celetukku dengan tatapan aneh.
“hamba adalah utusan dari Pangeran Diar untuk menjemput Putri Dedes dari singgasananya” Papar Risky entah rencana menyakitkan apalagi yang sedang disusun lelaki itu lewat sahabatnya.
“hidupku akan baik tanpa Diar, ky. Mungkin lebih baik gue nggak ketemu lagi sama Diar.”
“Ok. Tapi, nanti atau kapanpun itu gue nggak mau denger penyesalan kalau Tuhan jabar doa loe itu” Tukas Risky dengan nada santai, namun tatapannya tampak mengancam.
Mana mungkin aku bisa menolak untuk bertemu pemuda itu. Seribu kali ia menyakitiku seribu kali lipat pula cintaku akan memaafkannya..
“Risky. Iya, gue ikut!, gue terlanjur sayang sama Diar,”
“Itu juga yang Diar rasain, percaya sama gue” Kata Risky mendukung ucapanku.
Aku memakai sweater hitam malam itu. Angin malam terasa cukup menyakitkan. suhu seperti berada di minus derajat celcius. Deretan lampu jalanan hampir semua padam. Hanya sorotan dari lampu motor Risky yang membuat malam itu tampak lebih baik.
Beberapa saat motor Sport Risky berhenti. Tempat ini begitu kukenal dengan baik. Siang itu Diar membagi jaketnya denganku karena cuaca siang itu tidak cukup bersahabat. Di situlah aku mulai menemukan letak kehangatannya. Waktu itu Diar memperlakukanku dengan sangat baik. Ia tidak membiarkan seekor semut pun menggigitku. Dan itulah Diar yang kukenal, Diar yang membuat kanvas hidupku penuh warna.
“Di mana Diar, ky?” Tanyaku mulai khawatir.
“Sabar, nanti juga Pangeran berkuda loe itu datang”
Kegelisahan hatiku semakin mengacaukan malam yang semakin larut. Bintang seperti padam. Bulan pun tak jadi keluar. Langit pun seolah ikut mendukung kegelisahanku. Awan hitam mulai bertandang. Suara gemuruh petir diikuti oleh sekumpulan titik-titik gerimis memudarkan harapanku..
“Des yuk kita neduh dulu!!” Ajak Risky mendahuluiku.
Aku tak bergeming sedikit pun. Pandanganku kosong. Tak peduli dengan tubuhku yang mulai basah kuyup. Semuanya terasa beku. Dinginnn sekali…!!!. Sampai aku berdiri kaku tak sempat bergeming sementara rasa dingin semakin mencengkram tubuh ini.
Melihatku tak bergerak Risky kembali menghampiriku, mungkin merasa bertanggung jawab pada Diar. Hujan belum lelah tak berniat mereda. Nada Fur Elise dari ponsel Risky ikut dalam keheningamn malam itu,
“Diar. Loe di mana…” Tanya Risky memberiku sedikit harapan. Namun, senyum Risky berubah menjadi senyum sayu yang jarang dipertontonkannya.
“Apa?, Inna Illahi Wa inna Ilahi Roji’un”
“Apa?, Kenapa Diar, ky. Dia baik-baik aja kan, Diar pasti datangkan, ky?” pekikku menghujaninya dengan beberapa pertanyaan.
“Tuhan begitu baik sama loe, des. Baru aja doa loe terjabar. Diar pergi”
“Ngga mungkin. Pasti ada kesalahan, Diar bilang dia akan selalu ada buat gue, Diar akan bilang kalau dia mau pergi, ky” Pekikku mulai memberontak.
Hujan masih tandang. Risky menyalakan mesin motornya. Aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Situasi ini terlalu menegangkan. Aku hanya bisa menangis di pundak Risky. Jika ini benar-benar terjadi, bisakah aku hidup tanpa Diar?.. Suara sirine Ambulan mulai terdengar jelas di telingaku. Suaranya begitu menakutkan. Malam itu di sepanjang Jalan Benjamin telah dipenuhi gemelut orang. Suara sirine Ambulan pun mulai menghilang seiring dengan kedatanganku. Aku seperti orang idiot ketika lututku jatuh di atas permukaan cairan merah yang masih terasa hangat. Pandanganku tertuju kepada setangkai mawar di sana. Mawar itu masih utuh seakan pemiliknya masih ada. Dan saat itulah aku baru merasakan kepergian lelaki itu. Kematian Diar seperti seribu sembilu yang menusuk hatiku. Rasanya begitu perih, sampai aku ingin mati saja karena tak dapat menahan rasa sakit itu. Mengapa dia harus datang di hidupku jika akhirnya ia akan pergi juga…?, bukankah lebih baik dari awal tak usah hadir saja. Di saat terakhirnya pun dia masih begitu egois meninggalkanku sendiri menjaga cinta kami. Kenapa tak aku saja yang pergi dan biarkan dia tetap tinggal. Dia hanya perlu hidup dengan baik dan aku akan bahagia.
Dasar pembohong ulung. Katanya tak kan pergi sebelum mampu menepati janji. Tapi kini Dia malah pergi. Membawa cinta kami sampai mati. Rasanya saat itu aku ingin ikut saja bersamanya. Aku takut dia kedinginan. Aku takut dia kesepian. Aku takut dan sangat takut. Diar Kenapa semua begitu cepat. Jika kamu tak dapat menepati janji, maka sekarang aku yang akan menggantikan janji itu. Aku janji akan menjadi satu cintamu yang abadi. Aku janji akan membawa cintamu kemanapun aku pergi. Aku janji akan menutup hati ini untuk cinta yang lain. Aku janji, dan pasti akan kutepati Tinggallah dengan baik di sana, Diar.. Tunggulah aku…!!!, hanya tetap menunggu dan aku pasti akan segera menghampirimu. Percayalah!!!.
Karena cinta adalah tentang Kepercayaan…!!
Cerpen Karangan: Dian Setianingsih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar