Rabu, 13 November 2013

Cerpen - Rekayasa Tragedi Mawar Berduri

Sebuah kelas yang penghuninya memiliki kesibukan masing-masing, entah itu mengobrol antar rekan sebangku, menggenjrengkan sebuah gitar lantas teriakan ekspresi kebebasan. Semuanya benar-benar tampak tidak kondusif, dan kacau. Namun, disanalah tempat aku tediam, aku yang masih tercenung dalam lamunanku, memikirkan kerumitan demi kerumitan hidup. Dan masih dalam kerumitan itu, sebuah kepala tiba-tiba mendarat di bahuku, bermanja dan bersua. “tidakkah kau mau mempertahankan hubungan ini.” suaranya kian menambah bebanku. Aku pun menepis kepala itu dari bahuku, sebisa mungkin aku berkata:
“Tidak!, tak ada yang bisa dipertahankan lagi!”
Aku yang baru menyadari, jika tidak hanya aku dalam hidupnya. Tidak hanya aku, dan itulah yang membuatku rumit. Terlepas dari perasaanku, meski harus mengorbankan dia, aku rela. Pasalnya, seorang sahabat ingin memberikan setangkai mawar pada seorang yang spesial. Tentu saja aku turut bahagia, tapi yang menjadi duri dalam hati adalah saat sahabat berkata “untuk Uki”, lelaki yang saat ini menjadi pacarku. Dan bukanlah kesalahan sahabat, karena kesalahankulah merahasiakan status kami dari awal.
“lupakanlah niatanmu putus dariku Ndine!, ini semua hanya soal waktu..” Uki berusaha meykinkanku.
“gampang bagimu berkata, tapi akan berat bagiku saat harus menjelaskan semuanya pada Mey, aku tak mau meluki persaannya.” Jelasku dengan mata berkaca.
Melihatku demikian, Uki tak sampai hati. Dia menggenggam tanganku dan menatapku tajam. Aku tak berani untuk balik menatapnya. Sungguh!, aku masih terlalu berat untuk ini, aku masih terlalu mencintainya. Dia yang biasanya tampak begitu kuat, turut rapuh saat melihat kesedihanku. aku pun tergugah, dan tanpa sadar, air mata membanjiri wajahku.
“Kita hadapi bersama..!” Uki kembali meyakinkanku, suaranya yang setengah berteriak, menggema membahana di seluruh ruangan kelas. Spontan anak-anak kelas yang tadinya begitu ramai dan sibuk dengan kegiatannya masing-masing, mendadak memperhatikan kami berdua. Namun Uki seakan tak perdulikan itu, dia justru memelukku dan menangis bersamaku.
Keheningan yang sesaat itu pun terpecah, manakala Meysya masuk ke dalam kelas, dan tak sengaja melihatku yang kala itu menangis dalam pelukan Uki. Meysa begitu murka, dan tanpa berkata-kata, dia pun langsung menarikku, dan menghujaniku dengan tamparan yang begitu kerasnya. Memang kesengajaankulah tak menghindar, biarlah Meysya menghukumku atas keegoisanku.
“Maafkan aku Mey..” ucapku dengan nada bersalah.
“Dusta!, busuk kau Ndine!” Meysya tampak masih tak terima dengan kenyataan yang dilihatnya.
Uki yang mulai menyadari akan diperhatikannya oleh banyak pasang mata. Langsung menarikku ke luar agar keadaan tak semakin memanas. sebenarnya aku masih ingin menjelaskan yang sebenarnya pada Meysya. Namun Uki sudah terlanjur membawaku menjauh.
Uki mengajak ku duduk di plantaran taman. Aku pun duduk meski dengan rasa sedikit enggan, tentu saja aku masih kesal terhadapnya yang tiba-tiba saja menarikku ke luar tanpa memberikanku kesempatan untuk menjelaskan semuanya pada Meysya terlebih dahulu.
“kenapa kau menarikku?, harusnya kau biarkan saja aku tadi..” protesku pada Uki. Dan dengan cepatnya dia menyahutiku, “itu karena aku menghawatirkanmu..” ucapnya dengan santai dan bersikap bak seorang pahlawan. Mendadak, aku merasa risih dan aneh padanya, baru tadi dia yang bersikap baik dan romantis padaku. Tapi sekarang, dia sudah kembali pada dirinya yang semula, Uki yang menyebalkan, dan tidak pernah mengertikan aku.
“yah!, aku tau kau menghawatirkanku!. Tapi bukankah kau sudah berjanji akan menghadapinya bersama. Harusnya kau dampingi saja aku!, bukannya malah mengajaku menghindar darinya!.” Ucapku berusaha menekankan kesalahan yang telah diperbuatnya. Dan sepertinya dia sadar akan hal itu, hanya saja Uki terlalu naif, dan dia terlalu pandai untuk membela dirinya.
“jangan salahkan aku bila terlalu mencintaimu..” ucap Uki seketika beranjak dan berlalu dariku.
“Ukiii…!, kau mau kemana?” teriakku berusaha mencegah kepergiannya. Sayangnya, Uki tak menggubris teriakanku, dan sama sekali dia tak menolehkan kepalanya.
Kehawatiran pun mulai merajaiku, “mungkinkan dia marah padaku?”. Mataku pun menerawang jauh, lepas kehamparan langit yang membentang. Huffft.. lengkaplah sudah kemelut hidupku saat ini. Sahabaku marah, dan Uki?, entahlah!. Aku benar-benar galau.
“Andine!.”
seseorang terdengar memanggilku. Tidak!, aku tidak ingin bertemu siapa-siapa lagi, tidak ingin seorang pun mengganggu.
“pergilah..! jangan ganggu aku!” Tanpa kupandang siapa pemilik suara itu. Aku ingin sendiri.
“ini aku, Meysya!”
Mendengar nama Meysya disebut, aku pun langsung terperanjat dari tempat dudukku. “Mungkinkah dia ingin melanjutkan acara marah-marahnya padaku?” Gumamku dalam hati. Baiklah, aku sudah mengumpulkan seluruh keberanianku untuk ini.
“maafkan aku!” Meysya yang tiba-tiba bersuara, membuatku seakan tersengat petir, meski tak ada hujan tak angin.
“kenapa?” tanyaku kebingungan.
“Aku sudah mengetahui semuanya Ndine! Kau tidak sepenuhnya bersalah!”
“bagaiman kau bisaaa..” belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Meysya kembali bersuara.
“barusan Uki yang menjelaskannya padaku!” Tuturnya.
Mendapati kenyataan itu, aku sungguh bernafas lega, ternyata Meysya sudah tak marah lagi padaku. Dan semua itu, karena pacarku Uki. Aku bennar-bennar tak habis pikir padanya, dia yang terlihat menyebalkan itu, ternyata pribadi yang sangat sulit untuk di tebak, terkadang dia melakukan hal-hal yang mengejutkan di luar bayanganku.
“Mey!, kalau kau sudah tidak marah lagi, aku sungguh berterimakasih padamu!, tapi, bolehkah aku menemui Uki sekarang?” Pintaku pada Meysya. Dia pun tampak mengangguk, isyaratkan kebolehan.
“Terimakasih ya Mey!, aku sungguh tak akan lupakan semua pengertianmu ini..” ucapku lagi, sebelum meninggalkannya. Dan langsung saja, aku pun berlari hendak menemui Uki. Mendadak aku dihantui rasa bersalah padanya, karena sikapku yang sempat menyalahkannya tadi.
“minta maaflah pada Ukiii…!.” ku dengar Meysya berteriak.
“okeee..!” balasku dari jauh
Kucari sosok Uki di tengah kerumunan siswa yang bejibun di kelasnya. Kupandangi satu persatu wajah di sana, namun sosok Uki tak nampak sedikit pun. kutanyai seorang anak yang duduk satu bangku dengan Uki, namun dia menggeleng dan berkata Uki sudah pergi. Aku pun berlari, mengejar jejak Uki. Sayangnya, setelah sampai di parkiran pun, motornya pun sudah tak ada.
Aku pun kembali dengan wajah melipat. Rasa penyesalan akan protesku pada Uki tadi mulai menyeruak memenuhi pikiran. Aku melangkah gontai, tanpa tenaga mengerat. Di tengah keputusasaan itu, tiba-tibaaa..
“kau mencariku?” Uki tiba-tiba saja muncul tepat di hadapanku.
Aku tersenyum senang, melihat Uki yang tak jadi pergi. Aku peluk Uki seketika, ia tampak kaget dengan sikapku.
“maafkan aku!, maafkan aku!, aku tidak akan menyalahkanmu lagi..”
“maksudmu?” Uki mengeryitkan keningnya, isyaratkan ketidakfahaman.
“Bukankah kau marah dan ingin pergi, karena tadi aku sempat memprotesmu?” Jelasku dengan polosnya.
Mendengar ceritaku, mendadak gelak tawa Uki menyeruak, hingga memancing perhatian setiap anak yang melintas di dekat kami berdiri saat itu. Aku pun turut bingung, melihat tingkah Uki yang demikian. Sebentar-sebentar dia akan marah, sebentar-sebentar dia akan menyebalkan, dan sebentar-sebentar pula dia akan bersikap romantis. Aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikirannya..
“memangnya ada yang salah?, kenapa kau menertawaiku..?” tanyaku dengan mata yang menyingsing sebelah.
Uki masih saja tak berhenti dari tawanya. Dan dengan mulut yang masih berbusa, dia mencoba bercerita padaku.
“Andine sayang!, kau itu terlalu lebay siiih.. bukannya aku marah karena sikapkmu padaku, lantas aku sengaja ingin pergi, tidak seperti itu cinta..! Memangnya kau tak ingat hari ini hari apa?” Uki tiba-tiba balik bertanya padaku.
“hari ini, hari selasa..” jawabku singkat.
“bukan itu yang ku maksud!” Uki meralat jawabanku.
“Terus apa maksudmu?.” Tanyaku lagi.
“happy berthday yah..! hari ini kan hari ulang tahunmu!, kau lupa yaa?. aku memang sengaja bekerja sama dengan Meysya dan sudah merencanakan semua ini dari jauh-jauh hari..” jelas Uki yang membuat tensi darahku naik seketika.
“betul itu Ndine!. Semua kejadian yang menimpamu hari ini, termasuk aku yang menamparmu. Itu memang sudah bagian dari rekayasa kita..” sambung Meysya yang tiba-tiba saja hadir di tengah-tengah aku dan Uki.
Mendengar semua itu. Aku bagai tersengat petir di siang bolong, seketika awan gelap menyelemutiku. Dan tiba-tiba ada Angin kencang yang menerpa wajahku.. dan ketika aku mulai tersadar akan rekayasa itu, Uki dan Meysya sudah tak nampak lagi di hadapanku. Mereka terlanjur melarikan diri..
“Ukiii… Meysyaaa… jangan lari kaliaaaan..!” teriakku sembari berlari mengejar ketertinggalanku dari kedua orang menyebalkan itu. Dan dengan kompak mereka balik meneriakiku:
“tragedi mawar berduri untukmu Ndine..” Mereka tampak senyum dari kejauhan.
Cerpen Karangan: Lailatul Badriyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar