Rabu, 13 November 2013

Cerpen - Bloody White Rose

Ia masih disana, masih berdiri di tempat biasa, menjajakan setangakai bunga pada setiap orang yang lalu lalang dihadapannya.
“Bunganya, Mas… Bunganya, Mbak… Lima belas ribu setangkai, untuk orang yang di sayang,”
Berulang kali ia menyerukan kata-kata itu. Berharap ada seseorang yang menghampirinya dan membeli bunga-bunga yang ia jajakan hari ini.
“Masih belum ada yang beli?” tanyaku mengejutkannya.
“Eh, kamu. Ngapain kesini lagi? Mau beli bunga?” tannyanya polos.
“Hmm.. Tapi aku maunya mawar putih”
“Mawar putih?” Ia nampak bingung. “Bukannya yang aku jual ini mawar putih?” tanyanya.
“Bukan, itu mawar merah.” jawabku singkat.
“Mawar merah?” Ia terdiam sejenak. “Bukan, ini mawar putih. Dari wanginya saja aku yakin.” bantahnya.
Sudah aku tebak, gadis ini memang istimewa. Di saat indera penglihatannya tak berfungsi dengan baik, indera penciumannya bekerja dengan sempurna. Bahkan lebih peka dari pada orang normal biasanya: Ia dapat membedakan dengan jelas antara mawar merah dan putih hanya lewat aromanya.
“Kamu salah. Jelas-jelas ini mawar merah. Masa kamu nggak percaya?” kataku kembali meyakinkannya. Walaupun tebakannya memang benar.
“Masa iya?” katanya ragu.
“Ya ampun, masa iya aku bohong sama kamu. Yang kamu jual hari ini itu memang mawar merah. Kalau kamu nggak percaya, coba aja kamu tanya sama orang lain!!” ujarku seraya tersenyum kecil menahan tawa yang tak bisa kubendung lagi.
Ia masih tak percaya dengan kata-kataku. Bermodal keyakinan akan keistimewaan indera penciuman yang dimilikinya, ia bertekad untuk membuktikan apa yang ia katakan itu benar: bahwa yang ia miliki sekarang adalah mawar putih bukan mawar merah seperti yang aku katakan.
“Permisi, Mas!!” Ia menghentikan seorang pria yang melintas dihadapannya. “Numpang tanya, ini mawar merah atau mawar putih?” tanyanya ragu.
“Mawar merah.” jawab pria itu singkat seraya kembali melanjutkan perjalanannya.
Terus dan terus berulang kali ia menghentikan sekumpulan orang yang lalu lalang dihadapannya seraya menanyakan pertanyaan yang sama. Namun jawaban yang ia terima dari setiap orang yang ia temui tetaplah sama, yaitu merah, merah dan merah, hingga akhirnya ia menyerah.
“Apa aku bilang. Yang kamu punya itu mawar merah, bukan mawar putih seperti yang kamu katakan.”
Ia tertunduk lesu, menempatkan badannya dengan melipat kedua lutut bertumpu pada telapak kaki dan pantat tidak menjejak tanah.
“Iya, aku salah,” ujarnya kemudian dengan pelan.
“Ya sudah, karena bunga yang kamu bawa hari ini tidak habis terjual, biarkan aku membelinya semua.”
“Apa? Kamu akan beli semua?” Ia nampak terkejut. “Bukannya kamu ingin beli mawar putih?” lanjutnya dengan mimik heran.
“Sudah, nggak papa. Mawar merah pun boleh”
Angin malam semilir membelai tubuhku lembut. Hiruk pikuk sekumpulan anak manusia yang wajahnya tak asing lagi bagiku berkumpul dalam ruang kosong, bekas pabrik kertas yang sudah lama tak terpakai lagi.
“Kemana aja lu, Dai?” sapa Topan, sahabatku yang kini berada di atas tumpukan-tumpukan ban mobil bekas.
“Bukan urusan lu,” jawabku singkat tanpa menghiraukannya dan terus berjalan menyusuri koridor menuju tangga di ujung ruangan.
“Lu ketemu lagi sama cewek buta itu?” tanya Topan menyusul langkahku.
“Kalau iya, memangnya kenapa?” aku balik bertanya. Masih tak menghiraukan keberadaannya dan tetap berjalan lurus kedepan.
“Wah, memang nyari mati lu, Dai. Nggak sadar kalau itu udah jadi lahanya Naga?” Topan meradang. Ia makin mempercepat langkahnya hingga mendahuliku.
“Gue nggak perduli!” jawabku pendek. ”Lu nggak perlu khwatir, gue bisa jaga diri kok” lanjutku seraya mendahuluinya kembali..
“Gue nggak khawatir sama lu. Yang gue takutin kalau Naga sampai ngelakuin hal yang nggak-nggak sama itu cewek” ujar Topan dengan nada semakin keras.
Kuhentikan langkahku. Spontan badanku kuputar seratus delapan puluh derajat lalu menatapnya tajam.
“Bakal gue habisin genk-nya si Naga, kalau mereka berani nyentuh cewek itu!” wajahku memanas. Amarah di dada mendadak bergolak, batin ini tak terima jika terjadi sesuatu pada gadis itu.
“Lu habisin? Nggak salah? Nggak sadar kalau kita sekarang lagi kalah jumlah. Kalau lu mau nyari mati, silakan aja!!” Topan kembali meradang.
Aku terdiam. Amarahku seketika padam dan membeku.
“Lebih baik lu jauhin dia!” Lanjut Topan memberi saran. “Kalau nggak, lu tau sendiri konsekuensinya!!”
Malampun semakin larut. Namun tak lantas membuat gedung ini menjadi sepi tak berpenghuni. Karena semakin malam bergulir menuju pagi suasana disini justru malah semakin ramai. Bermacam ragam anak manusia berbondong-bondong kumpul di tempat ini. Baik untuk melakukan pesta mir*s atau hanya sekedar menghabiskan malam hingga fajar menjelang.
“Dai, bagaimana lahan kita yang ada di Selatan?” tanya Tora padaku. Pria separuh baya bertubuh gemuk, dengan tinggi badan 150 cm – Ia pemimpin tertinggi genk ini.
“Baik, Bang. Semuanya aman, cuma…” Aku mendadak diam. Ragu untuk melanjutkan.
“Anak buahnya Naga udah nguasain setengah dari wilayah selatan, Bang” Topan menyambung perkataanku yang terputus.
“Setengah? Kenapa bisa?” Tora nampak terkejut.
“Mereka sudah bergabung dengan genk-nya Aray. Jadi kelompok mereka bertambah dua kali lipat” Topan kembali menjeaskan.
“Betul seperti itu, Dai?” tanya Tora padaku. “Kenapa lu nggak bilang sama gue dari awal?!” Tora membentakku.
“Betul, Bang” Aku terdiam sejenak. “Tapi sebentar lagi pasti gue rebut kok” kataku agak gugup.
“Rebut? Oh… nggak untuk saat ini, Dai. Kekuatan kita masih belum cukup untuk menghadapi mereka. Apalagi mereka sudah berkomplot dengan kelompoknya Aray. Pasti itu akan tambah sulit.”
“Terus kita harus gimana lagi, Bang?” celetuk Topan, kembali ikut dalam pembicaraan.
“Menunggu. Sampai suasana terkendali lagi dan baru kita mulai bertindak” nada suara Tora nampak begitu yakin. “Ya sudah, nanti kita bahas lagi, soalnya gue ada tugas penting buat lu berdua.”
“Tugas?” jawabku spontan.
Ia masih disana. Masih dalam posisi yang sama dengan kegiatan rutin seperti hari-hari sebelumnya.
“Masih mawar merah?” sapaku seperti biasa..
“Eh, kamu lagi?” jawabnya spontan. Respon yang sama setiap kali aku berjumpa dengannya. “Bukan!. Kali ini mawar putih” lanjutnya yakin.
“Siapa bilang itu mawar putih? Itu masih bunga yang sama seperti kemarin” kataku.
“Ah, tidak mungkin. Kali ini aku tak akan salah” bantahnya semakin yakin.
“Masih nggak percaya? Coba kamu tanya lagi sama orang lain, pasti jawabannya merah.”
Dengan polosnya ia kembali melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan kemarin. Bertanya pada setiap orang yang lewat dihadapannya hanya untuk memastikan keyakinannya.
“Bagaimana?” tanyaku setelah ia kembali ketempatnya.
“Aku masih salah.” Jawabnya lirih seperti putus asa.
“Ya sudah, kali ini biarkan aku yang membelinya semua.”
“Jangan!”
“Kenapa?” aku bingung.
“Aku akan menyimpan bunga ini” jawabnya.
“Kok, malah di simpan? Bukannya kamu butuh uang?”
“Aku akan menyimpan bunga ini hingga suatu saat aku dapat melihat kembali, aku akan buktikan jika selama ini aku tidak salah.” Serunya padaku.
Aku tersenyum.
“Oh iya, aku ada sesuatu untukmu.” Aku memberikan bungkusan berwarna coklat kepadanya.
“Apa ini?” Ia nampak bingung.
“Mudah-mudahan bisa sedikit membantumu untuk melakukan operasi mata”
“Maksudmu?” Ia semakin nampak bingung.
“Ini uang 100 juta.”
“Apa? 100 juta?”
Langkahku cepat tak teratur. Berlari sekuat tenaga seraya sesekali menolehkan pandangan ke arah belakang. Tubuhku gemetar, rasa takut merasuki jiwaku dalam.
“Gue udah bunuh orang” gumamku lirih menatapi tangan yang penuh darah. “Gue udah bunuh, Naga” teriakku histeris.
Dua bulan kemudian…
“Dai, kita harus lari ke luar kota!!” seru Topan dengan nada cemas yang begitu jelas.
“Luar kota?”
“Iya, luar kota. Gue nggak mau mati konyol lama-lama disini. Aray pasti lagi ngacak-ngacak Jakarta buat nyari kita”
“Gue nggak perduli…”
“Apa? Nggak perduli lu bilang? Selain Aray yang lagi nyari-nyari kita, kita juga buronan polisi, Dai!. Nggak inget lu udah ngabisin nyawa orang? Masih bilang nggak perduli?” Topan nampak geram menatapku lekat.
“Gue nggak takut… dan, gua capek harus lari terus, Pan”
“Hah! gue nggak ngerti sama jalan pikiran lu, Dai. Apa ini gara-gara lu nggak mau ninggalin cewek buta itu?” tanya Topan.
“Iya…!!” Jawabku singkat.
Topan diam, seolah-olah kehabisan kata-kata. Suasana pun hening sejenak.
“Gue nggak mau terjadi apa-apa sama dia” lanjutku.
“Kalau lu nggak mau terjadi hal yang buruk sama cewek itu, lebih baik lu jauhin dia!! Karena semakin jauh lu dari dia, itu semakin aman buat dia, Dai”
Akhirnya aku menyetujui saran dari Topan untuk meninggalkan Jakarta. Tapi dengan syarat, sebelum aku pergi menghilang dari kejaran Aray, aku harus bertemu terlebih dahulu dengan gadis bunga mawar itu.
“Lu udah liat dia bukan?” kata Topan saat bersamaku memperhatikan gadis itu dari kejauhan. “Dan, sekarang saatnya kita harus pergi.”
“Tapi, Pan…”
“Tapi apa lagi?” dengus Topan jengkel.
“Biarin gue ngeliat dia dari dekat. Please, ini buat yang terakhir kalinya” pintaku.
Topan menganggukan kepala. Aku tahu dia sangat terpaksa mempersilahkanku menemui gadis itu.
Ia masih berdiri di tempat biasa dan masih melakukan kegiatan yang sama. Namun penampilannya terlihat sangat berbeda. Ia sudah dapat melihat kembali.
“Bunganya, Mas… Bunganya, Mbak… 15 ribu setangkai, untuk orang yang di sayang,”
“Mawar putihnya ada?” tanyaku.
“Mawar putih?” ia memandangku dengan ekspresi bingung. “Bukannya ini mawar putih?”
Tak seperti biasa, kini ia tak mengenaliku. Mungkin karena sudah dua bulan belakangan ini ia tak lagi mendengar suaraku.
“Bukan, itu mawar merah.”
“Mawar merah?” ia menatapku tajam. “Kamu…”
Aku pun tersenyum. Ternyata ia menyadari bahwa ini adalah aku. Orang yang selama ini selalu menemuinya untuk menayakan mawar putih.
Matanya pun berkaca-kaca. Buliran air halus membasahi sudut matanya.
“Jadi, kamu…?” tangisnya pun meledak bersamaan dengan letusan senjata api yang terdengar memecah kebisingan.
Tubuhku terhempas ke aspal jalan. Darah segar berbau anyir melumuri sekujur tubuhku. Sebuah timah panas telah bersarang di batok kepalaku.
Gadis bunga mawar itu menangis histeris disampingku. Bunga-bunga yang berada digenggamannya berubah sekejap menjadi merah.
Beberapa detik sebelum semuanya menjadi gelap hanya satu kata yang masih sempat terucap dari mulutku. “Aku mau mawar putih…”
Gadis itu semakin histeris. Ini pertama kalinya ia ingin membuktikan padaku bahwa selama ini ia benar tentang mawar putih yang dimilikinya. Tapi semua sudah terlambat.
Sebab…
Mawar putih telah berubah warna menjadi merah darah…
Cerpen Karangan: Aryan Dhanoe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar