Senin, 11 November 2013

Cerpen - Silly Feeling

Hari ini perasaanku nggak enak banget. Pagi-pagi dimarahin sama atasan ditambah dari semalam pikiran dan perasaanku memang sudah terasa nggak enak banget. Nggak tahu, rasanya pengen teriak, jerit-jerit, sampai pengen nangis rasanya. Kenapa ya akhir-akhir ini perasaanku nggak enak terus. Tiap hari bete, sebel, kesal, dll. Apalagi ditambah ngelihat muka Dio. Nggak tahu apa maksudnya, dari tadi cengar-cengir terus. Kaya’nya senang banget aku dimarahin bos. Awas ya!
Aku memang sudah lama nggak teguran sama Dio. Tepatnya waktu dia terang-terangan nolak aku jaman kuliah dulu. Sumpah, malu-maluin banget! Dan aku nggak mau lagi ingat kejadian itu. Nggak tahu apa yang ada di pikiranku waktu itu, kok mau-maunya aja nurutin kata teman-temanku. Dio itu pemalu banget, kamu aja yang nembak duluan. Itu kata teman-temanku waktu tahu aku naksir sama Dio. Bukannya bersyukur ada cewek cantik, manis, dan imut yang nembak. Dia malah langsung nolak tanpa kasih tahu alasannya. Sejak saat itu, aku dendam setengah mati sama Dio. Rasanya pengen kuinjak-injak aja dia sampai lumer!
Waktu keterima kerja disini, aku kira itu terakhir kalinya aku ketemu Dio. Eh… nggak tahunya ketemu dia lagi! Ampun deh! Untung aja aku duluan masuk kerjanya, selang beberapa bulan baru Dio. Kalau nggak, aku nggak bisa ngebayangin gimana GRnya Dio, dikiranya aku masih ngejar-ngejar dia sampai sekarang. Huuuh, jangan sampai.
Aku merapikan file-file di mejaku. Masih agak sedikit bad mood gara-gara dimarahin tadi. Kalau nggak mikir nyari kerja itu susah, mungkin aku sudah resign dari dulu, huuuhh! Aku meremas-remas kertas dan membentuknya jadi gumpalan bola sambil membayangkan muka bosku. Uhhhh!!! Tiba-tiba Dio lewat dan menoleh ke arahku. Ini orang, hobi banget sih mondar-mandir. Bikin aku tambah emosi aja. Aku balas menatap Dio dengan tatapan tajam. Dio balas menatapku juga. Duuuh, mau ngajak perang nih!
Beberapa detik aku dan Dio saling tatap. Kalau dipikir-pikir kaya’ orang kurang kerjaan.
“Ada apa?!” Tanyaku akhirnya. Dan… congratulation for me! Ini percakapanku yang pertama dengan Dio sejak kejadian beberapa abad yang lalu. Aneh, ada apa ya dengan mulutku ini? Kenapa juga tiba-tiba ngajak Dio ngobrol?
“Sayang tuh kertas kamu buang-buang gitu aja,” Sahutnya sambil ngeloyor pergi. What??!!! Apa maksudnya coba? Nggak penting banget.
Aku mendorong kursi menjauhi meja kerjaku dan kemudian melemaskan otot-otot tanganku. Sudah jam delapan malam, seharusnya aku sudah pulang dari tadi. Lemes, ngantuk, lapar, huuuuaaaaa!!! Pengen berhenti kerja aja. Baru setahun aku kerja disini, dampaknya sudah kerasa banget. Rasa-rasanya aku hampir gila. Seluruh hidupku cuma buat kerja, kerja dan kerja. Nggak sempat senang-senang, shopping ataupun ngerumpi bareng teman-teman kaya’ jaman kuliah dulu. Pengen pulang, terus langsung tidur. Tapi kalau kerjaan ini ditinggalin, besok kerjaanku jadi numpuk.
Aku menelungkupkan kepalaku di meja. Ngantuknya, pejamin mata bentar kaya’nya nggak apa-apa. Baru aja aku mau mejamin mata, tiba-tiba handphoneku berbunyi nyaring.
“Kamu masih di kantor ya? Cepatan pulang, sudah malam nih!” Hera, teman sekantorku yang telepon.
“Iya… iya…!” Ini juga sebentar lagi mau pulang,” Sahutku malas-malasan.
“Jangan cuma ngomong, cepatan sekarang juga pulang. Ntar besok aku bantu kerjaanmu,” Kata Hera lagi. Aku mengguman pelan dan menutup telepon. Eh… tapi dari mana Hera tahu aku masih di kantor?
Setengah ngantuk aku merapikan mejaku dan mematikan komputer. Lihat kerjaanku yang masih numpuk, rasanya besok mau pura-pura sakit aja.
Aku menuruni tangga menuju basement. Untung aja ruanganku di lantai satu, jadi nggak perlu pakai lift segala. Aku memang paling phobia dengan yang namanya lift, apalagi kalau udah malam kaya’ gini. Rasanya seram aja terkurung di ruangan sempit, apalagi sendirian.
Perasaanku kok jadi nggak enak ya? Kaya’ ada yang ngikutin dari tadi. Cepat-cepat aku berjalan menuju parkiran. Kok baru hari ini ya aku ngerasa takut pulang malam, biasanya nggak pernah kaya’ gini. Aku menoleh ke belakang, gelap, nggak ada apa-apa. Duuuh, moga nggak ada apa-apa deh. Aku membuka tasku, duuuh… mana lagi kunci mobilku. Aku mulai panik, kunci mobilku belum ditemuin juga. Jangan-jangan ketinggalan di mejaku. Rasanya pengen nangis kalau sudah kaya’ gini. Masa mesti balik ke atas lagi, aku sudah ketakutan setengah mati nih. Tapi kalau nggak balik ke atas, masa aku mesti nunggu disini sampai pagi. Lebih nyeramin lagi. Atau aku pulang pakai taxi aja ya? Aku memeriksa tasku lagi. Astaga, mana lagi dompetku! Kok aku bisa ceroboh kaya’ gini sih. Jangan-jangan dompetku juga ketinggalan di meja. Kalau sudah kaya’ gini, mau nggak mau aku harus balik ke atas. Moga aja kunci sama dompetku memang ketinggalan.
Setengah berlari aku menaiki tangga. Sumpah, aku ketakutan banget. Sial, kaya’nya kakiku terkilir, sakit banget lagi.
“Kyaaaaaaaa…!!!” Aku menjerit sekeras-kerasnya.. Nggak tahu benda apa yang aku tabrak. Kakiku tambah ngilu. Dan kali ini kaya’nya aku benaran nangis.
“Yik, ini aku!” Samar-samar terdengar suara seseorang di tengah jeritanku. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang basah gara-gara air mata. Dio?!
“Kamu…? Ngapain disini?!” Tanyaku dengan nafas terengah-engah.
“Baru pulang, kamu sendiri ngapain malam-malam masih di kantor?”
“Kunci mobilku ketinggalan,” Sahutku sambil meringis, baru terasa kakiku sakit banget.
Sebenarnya aku malu banget ketemu Dio dalam keadaan kaya’ gini. Sudah muka awut-awutan, jerit-jerit nggak jelas lagi. Sumpah, malu banget!
“A… aku ke ruanganku dulu ya,” Kataku lagi sambil menunduk. Jangan sampai Dio tahu aku lagi nangis saking ketakutannya.
“Kamu ngapain?” Tanyaku waktu tahu Dio mengikutiku dari belakang.
“Kamu yakin masih berani sendirian?” Dio balas nanya. Aku cuma diam. Dio terus mengikutiku dari belakang. Sebenarnya sedikit lega juga ada yang nemanin, fiuuuh…!
Tuh benar kan kunci sama dompetku ketinggalan di laci mejaku. Nggak lagi-lagi deh kejadian kaya’ gini.
“Lain kali jangan suka pulang kemalaman,” Kata Dio tiba-tiba. Eh… iya, aku baru ingat kalau ada Dio.
“Banyak kerjaan,” Sahutku pendek. Padahal sebenarnya aku lagi nahan sakit di kakiku. Kaya’nya terkilirnya parah banget. Bisa-bisa besok aku nggak bisa jalan nih.
“Masih mampu jalan?” Tanya Dio. Dia tahu juga kalau kakiku lagi sakit banget.
“Aku nggak apa-apa kok,” Kilahku.
“Kamu yakin bisa jalan sendiri dengan kaki kaya’ gitu?” Tanya Dio lagi. Lama aku dan Dio saling tatap. Hari ini aku baru sadar, ternyata Dio cakep juga setelah beberapa tahun terakhir ini kusumpahin dia sebagai cowok paling jelek di muka bumi.
“Kamu sih pakai lari-larian di tangga segala. Gimana nggak keseleo, pakai sepatu tinggi kaya’ gitu lagi,” Kata Dio tiba-tiba. Aku cuma cengar-cengir nggak jelas mendengar omongan Dio. Nggak mungkin kan kalau kuceritain aku lagi ketakutan setengah mati tadi.
“Buka aja sepatumu,” Entah kenapa aku nurutin aja apa yang Dio katain. Aku menenteng sepatuku, lumayan kakiku nggak terlalu sakit kalau dibawa jalan.
Aneh, benar-benar aneh hari ini! Baru tadi pagi aku musuhin Dio habis-habisan. Malam ini bisa-bisanya aku berduaan sama dia dengan keadaan pikiran dan hatiku sedang waras. Kenapa aku bisa berdamai dengan Dio secepat ini?
“Sakit banget ya kakimu?” Aku tersentak kaget. Rupanya dari tadi aku bengong, benar-benar ekspresi yang nggak bagus.
“Eh… iya, kaya’nya bengkak,” Jawabku asal. Padahal aku sama sekali lagi nggak mikirin soal sakit kakiku.
“Mau kubantu?” Tanyanya.
Dio menatapku lagi. Nggak tahu hari ini entah sudah berapa puluh kali aku dan Dio tatap-tatapan, buat risih aja.
“Emang kamu bisa bantu apa?” Tanyaku dengan nada dingin.
“Bawain mobilmu sampai sini, biar kamu nggak usah jalan jauh-jauh ke parkiran lagi,”
Aku memberikan kunci mobilku ke Dio, setengah berlari Dio menuju mobilku yang diparkir agak di pojokan. Aku menunggu Dio dengan beribu macam pikiran menyerang otakku. Kenapa Dio nggak nawarin ngantar aku pulang aja, ataupun teleponin taxi buat aku. Huuuh, nggak romantis banget jadi cowok.
“Ada hubungan apa kamu sama Dio?” Hera menghadangku di meja kerjaku. Aku menatap Hera dengan muka bengong.
Gawat!!! Jangan-jangan Dio sudah cerita ke semua orang tentang kejadian semalam, terus jangan-jangan dia juga nyebarin cerita kalau jaman dulu aku pernah nembak dia. Ampunnn…!!! Hancur deh reputasiku di kantor!
“Hubungan? Nggak ada tuh,” Sahutku cuek, pura-pura nggak perduli.
“Semalam Dio telepon aku, dia mohon-mohon suruh aku telepon kamu. Katanya kamu belum pulang-pulang juga dari kantor. Yang buat aku bingung, selama ini kalian berdua kan nggak pernah akur, terus kenapa semalam dia maksa-maksa aku suruh telepon kamu. Sebenarnya ada apa?” Cerocos Hera berapi-api.
Aku bengong, nggak ngerti mesti jawab apa. Emang kenyataannya antara aku dan Dio nggak ada apa-apa kok.
Pada saat yang sama, Dio lewat di hadapanku dan Hera. Mungkin pagi ini aku masih mimpi, ngigau, atau apalah itu, Dio tersenyum ke arahku. Dan sumpah! Baru kali ini aku berdebar-debar gara-gara senyumannya.
“Sudah baikan?” Tanyanya. Hera langsung melotot ke arahku.
Dan aku tambah nggak ngerti kenapa tiba-tiba aja perasaanku jadi nggak menentu, deg-degan, senang, campur aduk pokoknya. What’s this silly feeling???!!!
END
Cerpen Karangan: Eva Kurniasari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar