Rabu, 13 November 2013

Cerpen - Warna Cat Rumahmu Masih Tetap Sama, Merah Muda

Aku yakin tak ada pihak yang salah.
Aku yakin ini adalah keinginannya sendiri.
Aku yakin ini adalah yang terbaik untuknya.
Riani Eka Sari, dia adalah perempuan terkuat, terhebat, dan terbaik yang aku kenal. Sejak kecil dia sudah bertarung melawan penyakit Glaukoma yang di deritanya. Awal dia mengidap penyakit itu adalah ketika dia berusia 10 tahun. Sebenarnya Riani hanya mengeluh sakit mata, dokter pun hanya memberi obat tetes mata untuknya. Namun semakin lama Riani mengaku jika matanya setiap hari bertambah buram, dan akhirnya hingga ia berumur 20 tahun matanya tak mampu melihat. Penderitaan Riani tak cukup sampai di penyakit Glaukoma, selain tak mampu melihat, Riani pun tak mampu berbicara.
Hari ini adalah hari dimana Riani berulang tahun yang ke 21. Aku berencana untuk menghadiri acara pengajian untuk mendoakan Riani di kediaman Mbok Neni, dia adalah nenek dari Riani. Kediaman Mbok Neni benar-benar begitu hangat dengan banyaknya tamu yang datang, suara ayat suci Al Quran pun berhasil membuat rumah yang dulu di huni oleh Riani benar-benar seperti mendatangkan kembali sosok Riani. Aku benar-benar rindu pada Riani.
Dengan memberanikan diri, aku mencoba memasuki kamar Riani. Begitu rapi, wangi, bersih, benar-benar menggoda untuk tidur di kasur yang dulu selalu di tempati Riani. Aku meraba setiap barang-barang yang ada di atas meja belajar Riani, walaupun Riani buta dan tak dapat berbicara namun Riani tetap bersekolah, bahkan ketika dia duduk di sekolah dasar dia masuk sekolah normal, namun karna tertinggal Riani terpaksa di pindahkan untuk bersekolah di SLB.
Dari semua barang-barang milik Riani aku benar-benar terkejut ketika melihat ada beberapa kertas yang ia tempel di dinding kamarnya, dari beberapa tulisan itu Riani menulis “AKU TAHU KAMU TIDAK JAHAT” “AKU INGIN SEMBUH”. Dua tulisan itu ia tempel paling atas, mungkin Riani menulis itu sudah agak lama, dan di bawah tulisan itu Riani menuliskan sesuatu lagi “AKU TAK SANGGUP” “AKU SAKIT” “JEMPUT AKU MA PA”. Astagfirullah aku yakin itu adalah tulisan Riani yang ia tulis akhir-akhir ini. Mungkinkah itu adalah isi hatinya yang tak mampu ia katakan?
Aku kembali meraba tulisan “AKU TAHU KAMU TIDAK JAHAT”, apakah ini untuk…?
***
“Sayang ini adalah Riani dan Mbok Neni ayo kasih salam”. Hari itu adalah hari pertama Riani dan Mboknya tinggal di kediaman pak Reno dan bu Dewi. Pak Reno adalah teman bisnis dari bapak Riani dulu. Orang tua Riani telah meninggal dunia karena kecelakaan, jadi Riani hanya di asuh oleh Mboknya. Riani dan Mboknya menumpang tinggal di rumah pak Reno, akibat rumah Mbok Neni habis di lalap api.
“nah ini kamarnya Riani sama Mbok, semoga betah ya.” Bu Dewi begitu sayang terhadap Riani, ia menganggap Riani seperti anaknya sendiri, karena di rumah itu ada seorang anak laki-laki yang seumuran dengan Riani, dia adalah Bagas anak dari ibu Dewi dan pak Reno.
Bu Dewi dan pak Reno menyekolahkan Riani di sekolah yang sama dengan Bagas. Mereka berfikir jika Riani dan Bagas dapat menjadi saudara.
“ayo perkenalkan nama kamu nak” itu adalah guru yang mengajar di kelas Bagas dan Riani, sepertinya guru ini tak mengetahui jika Riani selain buta juga tak dapat berbicara. Riani hanya tersenyum, namun guru itu malah mengulangi pertanyaan yang sama “ayo perkenalkan nak, jangan malu-malu”, namun lagi-lagi Riani hanya membalas dengan senyuman. Guru itu jelas terlihat kebingungan, hingga akhirnya seorang murid berteriak, “dia itu buta sama gak bisa bicara bu.” Dia adalah seorang anak laki-laki namun bukan Bagas, dia adalah teman duduk dari Bagas, pantas saja dia tahu. Guru itu benar-benar terlihat sangat merasa bersalah sekarang, akhirnya guru itu memberikan sebuah spidol pada Riani untuk menuliskan namanya. RIANI EKA SARI
Riani duduk tepat paling depan, tujuannya agar Riani dapat medengar dengan baik.
“eh, eh ko bisa-bisanya ya orang cacat sekolah disini.”
“iya bener, kenapa anak cacat bisa sekolah disini ya?”
Jika aku Riani, mungkin aku sudah tak tahan dengan pekataan mereka. Namun, Riani adalah anak umur 11 tahun yang begitu hebat, ia masih dapat tersenyum walaupun orang sekitar terus menghinanya.
Bagas tak mampu berbuat apa-apa, di sekolah ia sama sekali tak mengenali sosok Riani.
Hari ini seperti biasa, Bagas dan Riani berangkat bersama diantar oleh seorang supir. Mereka berjalan bersama menuju kelas, Bagas sama sekali tak memegangi Riani, namun Riani dapat mengetahui kemana arah jalan yang di tuju Bagas. Begitulah, matanya memang tak mampu melihat namun mata hatinya masih mampu melihat dengan begitu baik.
“ciee Bagas ternyata pacaran sama Riani”
“enggak dia bukan pacar aku”
“ih Bagas, ko mau sih pacaran sama Riani? diakan buta”
“udah aku bilang dia bukan pacar aku! Dia pembantu aku”
Lagi-lagi jika aku menjadi Riani, aku sudah begitu tak tahan dengan segala ucapan mereka, dan aku yakin Riani begitu terkejut dengan pengakuan Bagas. Ternyata Riani, ia anggap hanyalah seorang pembantu.
Sepertinya Bagas tak ingin kejadian kemarin terulang lagi. Kejadian dimana semua teman kelasnya mengatakan jika Bagas adalah pacar dari Riani. Sikap Bagas berubah secara drastis, Bagas yang dulu hanyalah seorang murid sekolah dasar yang begitu tak perduli dengan keadaan sekitar, kini Bagas berubah menjadi seorang anak yang begitu nakal untuk ukuran teman sepermainannya. Bagas yang dulu tak pernah ingin tahu dengan apa yang teman-temannya lakukan pada Riani, kini Bagas malah lebih bisa membuat Riani lebih merasa sedih, aku yakin.
“ayo anak-anak cepat pergi kelapangan, hari ini kita berolahraga dengan bermain basket.” Bagas dan seluruh teman sekelasnya pergi meninggalkan kelas menuju lapangan sesuai dengan petunjuk gurunya itu, kecuali Riani. “ Riani, sayang kamu mau tunggu di kelas atau ikut ibu sama teman-temanmu ke lapangan?” Masih ingatkah kalian dengan guru yang pertama kali memperkenalkan Riani? masih ingatkah kalian ketika guru itu begitu merasa bersalah terhadap Riani karena ia tak tahu jika Riani tak dapat melihat dan berbicara? ya, sepertinya guru ini benar-benar masih begitu merasa bersalah terhadap Riani. Riani mengangguk, ia mengangguk untuk menyetujui untuk ikut dengan teman-temannya menuju lapangan.
“Brugg”
“hahahahaha”
“Riani, Riani kamu kenapa? siapa yang telah membuat Riani seperti ini? ayo jujur sama ibu”
“ehh, Bagas bu! Bagas yang udah lempar bola basket ke arah Riani”
Sedetik senyum Riani hilang. Dan itu adalah kesalahan Bagas. Entahlah aku kurang habis fikir, se iseng itukah Bagas pada Riani? dan se tega itukah teman-teman Riani padanya? mereka malah tertawa ketika Riani jatuh pingsan akibat bola basket yang menghantam kepalanya. Bagas begitu merasa bersalah, aku yakin, walaupun memang Bagas begitu berusaha menyembunyikan rasa bersalahnya, karena ia fikir itu adalah cara agar teman-temannya tidak mengatakan jika Bagas adalah pacar dari Riani lagi.
Bagas tak mengucap apapun ketika ia masuk ke dalam rumah. Bagas cepat berlari menuju kamarnya, dan tak memperdulikan Riani yang masih tak sadar di dalam kamar.
“mbok, gimana keadaan Riani?“
“Alhamdulillah bu, Riani sudah sadar”
“saya ucapkan beribu maaf ya mbok atas sikapnya Bagas, nanti jika saya pulang saya pasti akan menasihati bagas”
“ya bu, tak apa-apa saya dan Riani sudah benar-benar memaafkan den Bagas”
“iya mbok terimakasih, ya sudah telfonnya saya tutup dulu ya”
Tuttttt…
Hari ini adalah kepulangan bu Dewi dari Surabaya. Bu Dewi memang telah sebulan meninggalkan rumah untuk masalah pekerjaannya, begitupun dengan pak Reno.
“mbok mami sama papi kapan pulangnya?”
“ibu bilang nanti den habis dhuzur pasti sampai rumah”
“oh bagus deh, aku berangkat ya mbok”
Seperti hari-hari sebelumnya Bagas dan Riani masih tetap berangkat bersama. Dalam kelaspun masih tetap sama, Riani tetap menjadi bahan permainan Bagas dan teman-temannya. Namun Bagas, hari ini dia terlihat begitu kesal dengan kelakuan teman-temannya lagi.
“Bagas, kamu tadi berangkat bareng Riani ya”
“enggak”
“bohong! Tadi aku liat kamu sama Riani. Cieee”
Bagas benar-benar tak tahan dengan perkataan teman-temannya yang selalu menyudutkannya dengan Riani. Namun Riani, seperti biasa ia hanya tersenyum.
“ayo jalan mang”
“loh den itu ko pintu mobil sudah di tutup kan di luar ada non Riani”
“gak mau pokoknya jalan, aku tak mau dengan Riani”
Mobilpun melaju, aku yakin Riani merasa benar-benar bingung, begitupun mang Ading ia adalah supir yang selalu mengantar jemput Bagas dan Riani. Riani adalah anak yang benar-benar tak ingin membuat orang lain menjadi susah, Riani berusaha untuk pulang sendiri, walaupun aku benar-benar tak yakin Riani mampu.
“loh ini sudah malam dimana Riani mang?”
“saya sudah cari dimana-dimana mbok tapi non Riani tidak ada”
“ya Allah Gusti dimana Riani.” Mbok Neni benar-benar sedih dengan hilangnya Riani. Bagas yang sejak siang tadi mengurung diri dalam kamar akhirnya membuka pintu, dan dapat di ajak berbicara oleh ibunya, bu Dewi.
“Bagas sayang, kenapa kamu pulang sendiri?” bu Dewi terus membujuk Bagas yang tetap tak mau membuka mulut.
“Mami tak menyalahkan Bagas, tapi mami harap kamu jujur”
“Bagas gak mau terus di bilang pacaran sama Riani”
“loh siapa yang bilang seperti itu?”
“temen-temen mi, Bagas mau Riani pergi!”
“ya Allah, Bagas dengar mami ya. Mami dan papi sebenarnya berusaha untuk membalas budi pada Riani dan keluarganya. Apa kamu tahu rumah, pekerjaan mami dan papi itu awalnya adalah dari jasa papinya Riani. Apalagi Riani sekarang adalah yatim piatu memang telah seharusnya kita menyayanginya sayang”
Bu Dewi terus berusaha untuk menasihati Bagas, dan sampai akhirnya mbok Neni mendatangi bu Dewi.
“bu, sudahlah jangan marahi terus den Bagas, Riani sudah pulang kok”
“Alhamdulillah, sekarang dimana? memang diantar siapa?”
“Riani sedang tidur bu, Alhamdulillah tadi di antar tukang ojek depan gang depan”
“Alhamdulillah”
Hari ini tak seperti biasanya. Hari ini adalah hari dimana mbok Neni dan Riani pergi dari kediaman bu Dewi dan pak Reno.
“mbok, kenapa mesti pergi? Saya minta maaf dengan kejadian kemarin yang telah Bagas perbuat pada Riani”
“bu Dewi, ini sama sekali tak ada hubungannya dengan kejadian kemarin. “
“ya sudahlah, mbok dan Riani hati-hati di jalan, dan jangan sungkan buat main ke rumah ini lagi ya”
Bu Dewi dan pak Reno memeluk Riani, begitupun dengan mang Ading. Suasanaan pada saat itu benar-benar membuat terharu.
“ayo kasih salam Gas, tuh Riani sudah mengulurkan tangan” bujuk bu Dewi. “ahh” namun, Bagas malah berteriak dan meninggalkan semua orang yang sedang berada di halaman rumah untuk mengantar mbok dan Riani pergi. Itu adalah terakhir kalinya Bagas dan Riani bersama.
***
“apakah ini untuk Bagas?” aku benar-benar terlarut dalam kenangan. Namun secarik kertas berisi puisi yang aku yakin ciptaan Riani benar-benar berhasil membuatku lebih terharu.
AKU RINDU
AKU RINDU WARNA LANGIT
AKU RINDU WARNA BUNGA
AKU RINDU WARNA BATU
DAN AKU RINDU WARNA CAT RUMAHKU
AKU HARAP WARNANYA AKAN TETAP SAMA.
Puisi itu benar-benar indah bagiku. Ah aku benar-benar rindu senyum Riani.
“den, den Bagas sedang apa dikamar Riani? Ayo keluar kita makan”
“oh iya mbok, bentar lagi Bagas keluar, Bagas tutup pintu kamarnya dulu.”
Riani aku yakin, ketika kau pergi kau tak ingin meninggalkan luka untuk siapapun
Aku yakin kau pergi adalah keinginan mu sendiri
Namun Riani aku Rindu sosokmu
Aku rindu senyummu
Aku rindu ketika aku dan kamu di sudutkan oleh teman-teman kita dulu
Dan Riani kau tak usah khawatir aku memang tak jahat seperti apa yang kau fikir
Dan Riani kau juga tak usah khawatir warna cat rumahmu, masih tetap sama, merah muda
Cerpen Karangan: Fitri Nur Fadilah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar