Rabu, 13 November 2013

Cerpen - Selapis Roti Bakar Untuk Kepergian Ayah

Apakah aku masih hidup?. Ah, pasti aku masih hidup karena jika tidak pasti bukan disinilah tempatnya. Meski aku belum pernah melihatnya tapi aku yakin tempat ini bukanlah alam kubur, neraka apalagi surga. Ada bayangan hitam menghalangi pandanganku. Apakah itu malaikat maut? apakah ia akan menjemputku sekarang?. Apakah aku tak lagi diberi kesempatan?. Bayangan hitam itu semakin mendekat, menggenggam tanganku yang berhiaskan gelang identitas bertuliskan “Nura” nama kecilku. Genggaman tangan itu dingin seperti tak setetes pun darah mengalir padanya. Genggaman itu serasa membekukkan tanganku. Aku tak lagi bisa bergerak, aku tak bisa menghindar apalagi berlari. Bayangan itu mengenggam erat tanganku nyaris meremukkan tulang pergelangan tangan. Aku ingin berteriak, tapi suaraku tercekat. Tak ada satupun suara yang keluar selain “ah” dan “uh”. Seolah tenagaku telah raib. Aku kehilangan keseimbangan begitu melihat pemandangan dihadapanku.
Tubuhku bergetar hebat, takut sekali. Hingga kejutan keras merasuki tubuhku, hangat, serasa darah kembali mengalir. Bayangan hitam itu menghilang, telah berganti bayangan putih dokter dan para suster. Ada tiang kurus disampingku, menggantungkan tabung infus yang mendikte tetes demi tetes kehidupanku. Ternyata aku benar-benar masih hidup. Tak membutuhkan waktu lama sebelum suster memindahkanku ke ruang rawat. Berbagai wajah datang silih berganti. Tersenyum dan prihatin. Tapi aku tak lagi peduli, karena wajah yang kucari itu tak akan pernah ada, tak akan pernah bisa kulihat lagi. Terbersit perasaan menyesal, mengapa aku masih hidup?
Aku terbangun dan hari-hari itu telah berlalu sedemikian cepat, serasa hanya tertidur beberapa jam saja. Bunga dalam vas itu telah berganti rupa menjadi bunga yang lebih segar, ada yang menggantinya. Mungkin beginilah tradisinya, bunga diganti saat pasien kamar ini juga berganti?. Aku harus segera meninggalkan tempat memuakkan ini, meski setelah semua kejadian itu akan membuat keadaan di luar sana lebih memuakkan. Aku berjalan melintasi rutinitas yang mendadak terasa begitu asing bagiku. Tiba-tiba aku merasa menjadi salah seorang dari pemuda yang beratus-ratus tahun tertidur dalam gua lalu terbangun dan mendapati dunia telah sedemikian berubah. Apakah telah sedemikian lama aku tertidur?.
Batu nisan dihadapanku hangat tertimpa cahaya matahari pagi. Wajah yang kunanti itu telah terbenam disini, meninggalkanku dengan berbagai urusan dunia yang kini harus kuselesaikan sendiri. Ah, kita bahkan belum sempat saling mengucapkan salam perpisahan, kau hanya sempat membisikkan keinginan terakhirmu untukku. Meski aku tahu benar apa keinginanmu, keinginan yang rasanya sampai kapanpun tak akan pernah bisa kuwujudkan. Maafkan aku bu, karena sampai kapanpun aku tak akan pernah bisa mencintai ayah seperti ibu mencintainya. Aku tak akan pernah bisa melakukan lebih dari yang kau lakukan untuknya. Aku tak akan bisa bersabar lebih dari kesabaranmu menghadapinya. Aku tak akan pernah bisa mencintainya lebih dari cintamu padanya.
Kau datang saat usiaku genap delapan tahun, hadiah yang terindah bagiku. Jarang sekali ada anak yang menerima hadiah seorang ayah di hari ulang tahunnya bukan. Sejak kecil aku selalu menanyakan kemana kau pergi, tapi Ibu selalu mengatakan bahwa kau pergi jauh untuk bekerja. Aku menerima saja. Tapi, hadiah itu tak seindah yang kubayangkan. Kau selalu menolak permintaanku untuk jalan-jalan di akhir pekan, bahkan hanya sekadar bermain dan menemaniku belajar pun, kau tak pernah ada. Kau selalu pergi setiap hari kecuali di akhir pekan, entah untuk alasan apa.
Akhir pekan itu akan selalu jadi hari yang istimewa untuk kami, untuk ibu tepatnya, karena hanya di akhir pekanlah kau akan datang. Seandainya kau tahu, Ibu selalu menyambut kedatanganmu dengan cara terbaik, meski ia tahu betapa kau tak akan pernah membalas apapun atas pengorbanannya. Sementara bagiku, akhir pekan hanyalah masa-masa sulit diantara sekian kebahagiaanku bersama Ibu.
Setiap akhir pekan Ibu akan pergi bekerja ke tempat sahabatnya dan menginap selama dua hari, kau tentu tak memberikan sepeser uangmu pada kami. Kau hanya datang sebagai parasit, menumpang dan menyulitkan. Aku harus bangun sepagi mungkin, menyiapkan air hangat untuk kau mandi, menyiapkan sarapan hingga makan siang dan makan malam. Maka selama dua hari itu menyisakan aku dan dirimu, dirumah sesak ini, akan selalu menjadi masa-masa penantian yang menegangkan, karena setiap kesalahan ada bayarannya sendiri. Seperti pagi itu. Kau terbangun lebih awal karena panci yang tak sengaja kujatuhkan, menimpa beberapa alat rumah tangga yang lain, mengusikmu. Kau tak pernah banyak bicara, hanya melayangkan tatapan dingin itu. Genggaman tanganmu yang kuat menggusurku, dan membiarkanku seharian terkunci di ruangan berukuran 1×2 m tanpa jendela dan lampu. Aku takut, sangat takut.
Sejak kecil aku tak bisa berada dalam kegelapan, kesesakan akan merasuk dan mencekik penuh kekuatan. Selama lebih dari 24 jam kau mengurungku. Aku berteriak memohon kepadamu sekuat yang kubisa tapi tak ada yang berubah, kegelapan itu tetap meliputiku. Saat itu aku berfikir mungkin aku akan segera meregang nyawa. Ah, kau ingin membunuhku secara perlahan. Dalam kegelapan itulah, pertama kalinya aku mengenal rasa benci dan dendam. Hingga sayup-sayup langkah tergesa itu terdengar. Perlahan pintu itu terbuka dan serasa oksigen membanjiri saluran pernafasanku, menenangkan.
Ibu datang dan memelukku, aku ingin memanggil namanya namun tak ada satupun yang keluar. Ibu menatap mataku, bibirnya bergerak-gerak seolah mengatakan sesuatu, namun tak ada yang kudengar. Angin serasa mati sehingga bunyipun tak bisa merambat. “Ibu?” aku merengek dalam hati. “Nura? kamu dengar ibu sayang?” aku tak mengerti. Ibu terus mengelus kedua telingaku. Aku tak bisa berbicara, aku tak bisa mendengar apapun. Air mata hangat membanjiri pipiku, kau berdiri tepat dibelakangan Ibu, dengan wajah yang tak pernah berubah. Selalu dingin. Aku membencinya, namun tak bisa mengatakan apa-apa.
Tapi, aku mencoba belajar memaafkan masa laluku sendiri. Entah siapa yang patut dipersalahkan dan harus bertanggungjawab atas masalah ini. Entah siapa harus memaafkan siapa. Tapi satu hal yang pasti, ibu selalu memintaku untuk belajar memaafkan. Belajar memaafkanmu jika dalam seminggu itu tak sekalipun kau pulang. Belajar memaafkanmu jika dengan sengaja tanganmu mengayunkan tamparan yang bagiku terasa lebih menyakitkan hati dibanding menyakitkan pipi ini. Belajar memaafkanmu jika sumpah serapah mengawal setiap aktivitasku. Bertahun-tahun aku bertahan dengan cara seperti ini, mungkin karena keyakinan akan cintaku sendiri.
Sering aku bertanya apakah kau tak lelah mempertanyakan kesungguhanku. Apakah kau tak pernah lelah mengujiku. Aku tak pernah membutuhkanmu untuk memberikanku apapun, bahkan sejumput dari kebahagiaanpun aku tak memerlukannya darimu. Toh, aku bahagia dengan caraku sendiri, bahagia dengan selalu belajar memaafkanmu. Aku hanya membutuhkan pengakuanmu. Pengakuanmu bahwa aku dan ibu ada, tapi kau selalu membutakan dirimu sendiri.
Penjara itu tak sedingin tatapan mata yang kau layangkan padaku. Dia mati. benar?” katanya dengan bahasa isyarat. Sejak peristiwa pengurungan itu, aku tak lagi bisa bicara dan mendengar. Lalu Ibu mengajariku menggunakan bahasa isyarat. Ibu juga mengajariku untuk terus memaafkan, ibu mengajariku untuk terus mencintai dan menjagamu. Tapi pertanyaan itu begitu menusuk tajam, menghancurkan pertahanan pertamaku, sekian lama aku berusaha untuk tak bersedih karenamu. Aku hanya mengangguk seolah semua yang terjadi adalah biasa saja. “Apa kau mau ikut dia? Mati.” tawamu meledak menggema diruangan sempit itu, Barangkali jika aku masih bisa mendengar, suara itu akan memekakkan telingaku. sekali lagi tenagaku serasa raib, aku terduduk dipojokkan. Aku harus segera pergi.
Fitta menahan tanganku, nampak tak yakin bahwa aku akan mengunjungimu lagi. Sudah seminggu ini aku berbagi tempat dengan Fitta, sahabatku di kampus dulu. Aku mengangguk tegas, aku harus melakukannya untuk Ibu. Saat pertama kau datang dalam kehidupan kami, Ibu mengajariku untuk membuat roti bakar. “Ayahmu sangat suka roti bakar selai stroberi buatan Ibu, jadi kau harus mulai belajar membuatnya supaya kau bisa menggantikan ibu kalau ibu sudah tak ada..” Saat itu aku merasa betapa ibu akan pergi jauh. Aku tak pernah membayangkan bagaimana jika suatu saat aku harus benar-benar kehilangan Ibu, karena dia lah satu-satunya alasan aku bisa bertahan untuk mencintaimu.
“Kalau ayah menyukai roti bakar buatan Ibu, kenapa dia membenci kita bu?” tanyaku suatu ketika. Ia membelaiku penuh perhatian. “Jangan pernah kamu tanyakan mengapa ia membenci kita? dan mengapa kita harus mencintainya, jika dengan cara ini ibu bisa bertahan untuk mencintai ayahmu, maka kau pun pasti bisa” Terkadang aku merasa sangat takut, Ibu terlalu percaya diri bahwa aku bisa melakukan semua yang telah ia lakukan. Ibu terlalu percaya diri bahwa aku bisa menggantikan posisinya. “Kamu yakin mau pergi ra, biar saya ikut ya?” Aku menggeleng kuat, aku yakin diriku sendiri sudah cukup akan mengusik kenyamananmu. Aku pamit, membawa dua lapis roti bakar selai stroberi kesukaanmu.
Aku merasa seperti anak burung yang tersiram hujan. Kuyup dan mengkerut. Takut-takut aku berjalan. Inilah kali kedua aku membesukmu. Seorang penjaga mengantar dan mengawal pertemuanku denganmu, berbataskan jeruji besi yang dingin. Aku mengetuk sel besi dengan cincin murahan untuk memanggilmu yang terbaring di kasur. Kau menoleh juga. Aku menunjukkan roti bakar buatanku. Satu langkahmu berhasil menyurutkanku beberapa langkah. Ah, rasanya seperti berhadapan dengan harimau yang kelaparan. “Pulang!” sentakmu sambil mengibaskan tanganmu tanda menyuruhku untuk segera pergi, kau penuh kendali. Gentar. Tapi, tak mungkin, aku sudah sampai sejauh ini. Roti bakar buatanku? tak boleh sia-sia. Kau harus memakannya. “Heh? pulang!” sentakmu lagi. Aku mendekat dan menyodorkan roti dan beberapa buah jeruk. Kau tetap mengabaikanku. Tapi begitulah ibu, maka semua ini harus kulakukan. Kata ibu, inilah belajar mencintai dan menyayangimu. Ya, sekali lagi aku diajarkan untuk memaafkan perlakuanmu padaku. Tak apa..aku lebih pandai memaafkan daripada mencintai. Jadi, aku harus lebih banyak belajar. “Jangan pernah datang lagi.! dasar bisu! tuli!” cacinya. Rasanya hati ini sakit sekali melihatnya. Sudahlah, Ibu bilang ia tak pernah bersungguh-sungguh dengan kata-katanya. Lelah kaki ini melangkah pergi.
Meski begitu, semua berlalu bagai rutinitas yang tak akan terganti. Akhir pekan yang sama. Dapur yang sama. Alat pembuat roti bakar yang sama. Jalanan yang sama. Penjara dan penjaga yang sama. Sudah dua bulan berlalu sejak pertama kalinya aku menjengukmu, berarti ini akan jadi kali ke sembilan aku datang. Namun, belum ada yang berubah dalam hati ini. Setiap kaki ini menapak lantai penjara yang dingin, selalu saja mekanisme yang sama berulang. Hati ini mencoba mempersembahkan kasih sayang, lalu kau menjatuhkannya, aku akan sedih lalu aku akan belajar memaafkan. Tanpa benar-benar ada kasih sayang yang begitu tulus datang. Bagaimana bisa datang? jika setiap aku tertidur, maka mimpi itulah yang selalu hadir. Mimpi tentang hari-hari yang penuh ketidakpastian itu. Bagaimana bisa datang? jika setiap kaki ini melangkah ke dapur maka yang terasa adalah kaki-kaki yang rapuh menembus panas, hujan dan rela menunggu berlama-lama hanya demi mengulurkan tangan memberikan roti bakar stroberi kesukaanmu. Bagaimana bisa datang? jika setiap diri ini menunggu roti yang panas terbakar, maka yang hadir adalah perasaan kecewa, menumpuk dan terbakar, memenuhi hati dan berkembang menjadi rasa benci setiap kali melihat tanganmu terulur keluar jendela mobil dan melemparkan roti bakar itu ditikungan pertama setiap kepergianmu. Bagaimana bisa datang? jika setiap tangan ini bergerak mengoleskan selai stroberi kesukaanmu, yang terbayang hanyalah darah segar yang mengalir dari punggung ibu yang kau jadikan sasaran pisau terasah tajam. Kau memang pembunuh, dan aku harus mencintai dan menyayangi seorang pembunuh?. Ah ibu, kau benar-benar terlalu percaya diri meninggalkanku untuk urusan ini.
“Hari ini besuk lagi? aku heran mengapa kau belum juga menyerah padahal dia selalu melarangmu datang?” Fitta masih selalu protes, sekali pernah ia ikut membesukmu, dan kau mengamuk hebat mengusir kami. Sejak saat itu ia kapok memaksa untuk menemaniku. Aku mengangguk tegas. Ya, mungkin aku telah sedemikian bodoh mau melakukan ini. Ibu sudah tak ada, tak ada seorangpun yang akan mengevaluasi janjiku padanya, ibu tak akan pernah tahu aku mengingkari janjinya. Tapi, aku hanya ingin menepatinya saja, untuk alasan apa? akupun belum tahu.
Seperti biasa, roti bakar selai stroberi yang masih hangat, kubuat dua susun. Hari ini aku ingin sedikit menambahkan sesuatu untukmu. Sebelum berangkat, kusambangi minimarket terdekat. Membeli satu susu kotak ukuran 1 liter, buah apel dan beberapa makanan ringan. Bolehkan di penjara makan seperti ini?. Kau akan kuiziinkan membaginya dengan temanmu. Entah mengapa hari ini aku begitu menikmatinya. Butuh dua kali naik angkutan umum untuk mencapai tempatmu. Penjara yang apek dan dingin. Penjaga itu hafal betul dengan kehadiranku yang rutin, akhir pekan pukul 10.00. “Ayah aku datang?” bisikku dalam hati. Aku kembali mengetuk jeruji besi dengan cincin murahan yang terpasang di jari tengahku, saat melihat kau masih terbaring, nampak sedang tertidur. Ah, rasanya seperti membangunkan harimau lapar yang tertidur. Kau terbangun, melayangkan tatapan yang dinginnya serasa bisa menimbulkan luka bakar dan tajamnya serasa menimbulkan luka tusuk. Tapi aku tetap diposisiku, mencoba mempertahankan kedudukan.
“Selalu keras kepala, aku tak butuh makanan yang kau bawa, aku juga tak butuh kau datang kemari.” Aku tahu, aku hafal betul gerakan tangan itu. Kau mengucapkannya setiap kehadiranku. Meski selalu mengusirku, kau akan membiarkanku duduk dan menatapmu saja, rasanya setiap saat itu aku hanya menontonmu. Seperti menonton pertunjukkan saja. Jika ibu masih ada, barang tentu ia akan cemas melihat kondisimu yang begitu memprihatinkan, semakin kurus. Tiba-tiba tawamu berderai menyakitkan. Tawa itu pula yang terdengar selepas kau membunuh ibu. “Apakah ayah tak pernah menyesal telah melakukan semua ini padaku dan ibu?” entah mengapa pertanyaan itu meluncur begitu saja.
Tapi sunyi mencekam. Kombinasi yang sempurna dengan suasana penjara yang suram, gelap. Mengingatkanku akan kegelapan yang mencekik saat kau menyiksaku habis di ruangan kosong rumah kita. Ruang eksekusi, barangkali. Tak pernah terbayangkan akan berapa lama aku bertahan dengan cara seperti ini? aku ingin berhenti bu? aku ingin berhenti pura-pura peduli!, aku ingin berhenti pura-pura mencintai! aku ingin berhenti pura-pura menyayangi ayah!. aku ingin berhenti membuatkan roti untuknya! Aku tak mau lagi memaafkannya?.Aku ingin marah padanya. Aku ingin berhenti saja bu!
Terdengar langkah kakimu yang rapuh, berjalan dengan menyeret kaki kirimu. Semakin dekat, kuberanikan diri mendekati jeruji besi yang memisahkan kita. Hingga tiba-tiba nafas ini terasa sesak tercekat, dahi ini berdenyut semakin cepat. Beberapa penjaga berhamburan mendengar suara benturan tubuhku dengan jeruji besi. Menopang tubuhku yang mulai oleng. Seterusnya hanya hampa dan dingin. Serasa ada badai besar yang menghampaskanku, melewati satu persatu kenangan itu. Menusuk-nusuk sakit, lalu ibu akan selalu datang sebagai kupu-kupu indah yang menenangkan. Tapi seperti itulah kupu-kupu, hanya sesaat, lalu terbang bahagia menjemput kematiannya sendiri. Meninggalkan aku yang mulai harus melewati malam-malam dalam kebusukkan.
“pergi!!” kata-kata itu yang juga menjadi deretan hafalan dalam otakku. Saat anak-anak lain senang menghafal huruf, justru sumpah serapahmu yang bisa kuhafalkan. Mendengung terus, menyakitkan. Malam pertama aku mengenal rasa benci, mempelajari dendam itu kembali terulang. Bogem mentah melayang dari dua arah, ah aku merasa menjadi sansak tinju. Kancing bajuku nyaris terpereteli semua karena cengkeramanmu, dan aku nyaris kehilangan nafas yang tanpa kau cekik pun aku sudah cukup kesulitan bernafas. “Ibu.. aku belum mau mati” rengekku dalam hati, hingga sayup-sayup terdengar langkah berlari. Ah, itu dia. Ibu akan datang melindungiku. Memelukku dan mengatakan “berhenti yah!” lalu tak lama terbangun dipagi hari dengan hiasan luka lebam dimana-mana. Setiap pagi itu aku selalu terbangun dengan tangisan menahan rasa sakit. “aku ben..” ibu menahan tanganku. Ia tak pernah mengizinkanku mengucap satu kata itu “Benci”, bertahun-tahun selalu seperti itu. “Jangan pernah katakan kamu membenci ayahmu nura.., tolong..”
Lalu kapan kisah ini akan selesai? Selama aku bertahan untuk belajar mencintainya, bersabar karenanya dan memaafkan kesalahannya, ternyata memang tak mudah. Ah, aku sudah lelah. Semuanya harus segera berakhir.
Laboratorium penelitian di lantai lima itu masih sepi, hanya beberapa makhluk berbaju putih dan tanpa alas kaki bekerja tekun di pojokkan. Aku sering diizinkan menemani Fitta di laboratorium ini. Tesisnya baru saja selesai, barangkali inilah kali terakhir aku akan duduk disini. Kursi di dekat jendela dan sebuah spektrofotometer berdebu yang sudah rusak selalu menemaniku. Kubersihkan spektrofotometer itu, sebagai ucapan perpisahan. Pagi ini aku akan membersihkan semua, menyelesaikan segala urusannya. Akhir pekan ini aku akan menemuimu, ayah.
“Kamu sakit nur? wajahmu pucat begitu?” Fitta mendekat dan menempelkan tangannya tepat didahiku. “Wah, kamu demam nur, ayo rebahan biar aku buat air hangat dulu ya” Sebenarnya lebih dari cuaca yang menyebabkan badanku terasa menggigil sejak tadi malam. Namun, lebih karena pergolakan batin yang menyesakkan ini. Dadaku terasa sempit. Kucoba merebahkan badan, tapi berjuta bayangan muncul. Mengelilingi, membuat kepalaku terasa berputar dan pening. Sebuah ketukan pintu mengalihkan perhatianku. Ibu datang membawa baskom berisi air hangat, wajahnya pucat pasi. Seolah seluruh kebahagiaannya telah raib dari wajah cantik itu. Aku mengusap pipinya perlahan, mencoba saling menguatkan. “Apa kamu masih sesak nur?” aku hanya mengangguk lemah, disekap selama lebih dari 24 jam benar-benar menguras tenagaku. Aku ingin memeluk ibu, pasti menenangkan rasanya. Namun, sebuah hantaman keras membuat tubuh kurus itu terkapar. Wajah itu terpampang dihadapanku, dingin dan bengis. Ia menggusur kerah baju ibu hingga sobek, mendorongnya ke pojokkan. Menamparnya habis. Aku ingin memeluk ibu, aku ingin melindunginya, tapi tak sedikitpun tubuhku dapat bergerak, mati. Bahkan berteriak pun aku tak mampu. Sumpah serapah itu terasa menakutkan. Amarah terbesarnya sepanjang hidupku. Aku tak mampu melakukan apapun, telingaku tak mendengar apapun, hanya pandangan yang mulai kabur melihat sisa-sisa peristiwa mengerikan itu. “Pembunuh!!” teriakku dalam hati, ia berjalan ke arahku, menggenggam tanganku keras, menjatuhkanku dari tempat tidur dan mencekik leherku hingga lemas. Aku tahu, saat itu aku dan ibu bemar-benar akan mati. Barangkali inilah akhir semua penderitaan kami.
Tapi tiba-tiba kau berlari meninggalkan aku yang sibuk mengais-ngais oksigen untuk bernafas. Ibu disampingku. Aku menangis, takut sekali. “Jangan menangis Nura..” bisikkan itu menenangkanku, ah, ibu masih hidup. Aku memeluknya, namun punggungnya basah, basah oleh darah yang tak berhenti mengalir. Aku ingin berteriak tapi tak ada yang keluar selain tangisan bisu. “Kamu kuat Nura sayang, kamu bisa. Ibu minta satu hal, jangan pernah benci ayahmu. Berusahalah terus untuk mencintai dan menyayangi ayahmu, kamu bisa?” Aku menggeleng, aku tahu aku tak akan mampu melakukannya. Berbohongpun percuma. “Ibu tak peduli apapun jawabanmu, tapi Ibu percaya kamu akan berusaha melakukan yang terbaik untuk Ibu..” Sebuah pukulan keras membuat Ibu meregang nyawa, sementara aku hanya bisa menangis. Kau kembali mencekik leherku. Ibu, bagaimana bisa aku memenuhi permintaanmu, barangkali sebentar lagi aku akan menyusulmu pergi. Namun diluar dugaan sirene yang berbunyi diluar memaksamu melepaskan cengkeraman dileherku dan pergi.
“Nura? Nura? kamu kenapa?” Fitta panik demi melihatku mencekik leherku sendiri. Fitta berusaha keras melepaskannya hingga aku menyerah dan terduduk lemas. Ia menangis. Tak pernah kulihat ia menangis sebelumnya. Aku menatap ke sekeliling. Baskom air panas terjatuh. Aku menatap Fitta penuh tanda tanya, Ia menggamit tanganku. Aku menyerah dan membiarkan mataku terlelap. Ah, aku ingat. Besok akhir pekan yang kunantikan itu. Aku akan menemuimu, Ayah.
Aku berjalan gontai, Fitta masih terlelap. Aku tak ingin ia tahu kepergianku. Seperti biasa, berbekal roti bakar stroberi kesukaanmu. Hari ini terasa ringan. Aku akan menghentikan semuanya, aku akan menuruti keinginanmu. Aku tak akan lagi menemui di penjara. Aku tak akan lagi membuatkan roti bakar untukmu. Aku tak akan lagi membebanimu.
Ragu-ragu aku melangkah, aku yakin ini di luar jam besuk. Tapi, harus sekarang juga, tak akan ada waktu lagi. Seorang penjaga yang baru kulihat berdiri memperhatikan kehadiranku. “Ada keperluan apa mba?” aku terdiam. Ah, ia tak tahu aku tak bisa mendengar apapun yang ia katakan. Ah, kemana penjaga yang biasa. Ia akan mengerti apa yang kukatakan. Kehadiran rutinku tiap minggu membuatnya sedikit banyak mengerti dan bisa menggunakan bahasa isyarat.
Aku mengeluarkan secarik kertas dan mengatakan ingin bertemu dengan ayah, mendesak. Sial. Penjaga baru itu tak mengizinkanku masuk. Aku mencoba memaksanya, meski tak memberikan pengaruh apapun. Penjaga itu justru semakin kebingungan. Perselisihan kami terdengar oleh beberapa penjaga lain. Salah seorang diantara yang keluar itu, ada yang mengenaliku. “Ayah? aku ingin menemui ayah” aku tersenyum padanya. Ia mengangguk-angguk tanda mengerti. Ia mengajakku duduk. “Mana penjaga yang biasa?” tanyaku sedikt berbasa-basi dan menenangkan keadaan. Penjaga itu memegang pundakku seolah meminta pengertianku. “Ada apa?”
“Penjaga yang biasa itu sudah meninggal, baru tadi malam” aku mengungkapkan turut prihatin. Tapi aku tak bisa terlalu lama, aku harus segera bertemu ayah. “Aku mau bertemu ayah?” Ia mengangguk mantap. “Nura, kamu harus tahu ini. Semalam, ayahmu dan beberapa tahanan lain telah melarikan diri, ayahmu yang membunuh penjaga itu” Duniaku kembali terguncang. Aku ingin berteriak lagi. Meski yang terdengar hanya tangisan bisu. Aku ingin bertanya bagaimana bisa, tapi merasa sudah tak berguna lagi.
Langkahku semakin tak menentu. Kakiku sudah tak kuat lagi melangkah. Sebuah ayunan di taman yang sepi. Seluruh rencanaku gagal sudah. Padahal hari ini aku telah ingin mengakhiri semuanya. Bukankah semuanya harus selesai malam ini. Tiba-tiba aku merasa bodoh, ingin menangis tapi sudah tak bisa. Susah payah kuambil racun itu, dan kuoleskan diantara roti bakar kesukaanmu. Aku hanya ingin kau memakannya, lalu aku tak akan lagi menemuimu, aku tak akan lagi mengganggumu. Sia-sia kukumpulkan keberanian untuk melakukan semua ini. Sekarang kau entah ada dimana. Berada diluar. Bebas.
Aku tak lagi aman, kau tentu bisa saja muncul tiba-tiba. Lalu apa yang akan kau lakukan jika bertemu denganku. tentu kau akan membunuhku. Ah, dunia tak lagi aman untukku. Kugenggam erat roti bakar itu, nyaris hancur. Tidak, semua ini harus tetap berakhir. Tubuhku bergetar hebat. Aku harus segera memutuskan. Harus berakhir. Tubuhku bergetar semakin hebat, seolah sisa tenagaku berhamburan.
Aku terjatuh dari ayunan, rebah ditanah. Aku menarik nafas panjang. Telah kuputuskan. Dengan sisa tenaga yang ada, serpihan roti bakar yang hancur. Aku memakannya habis. Ayah..
Ayah…
Bisikkanku tenggelam dalam kebisuan yang semakin mendalam. Semua telah berakhir sesuai keinginanmu. Kau menang. Ibu..
Ibu..
Maafkan aku karena tak bisa memenuhi keinginanmu. Aku tak pernah bisa mencintai dan menyayanginya bu. Maafkan Aku. Nafasku terasa semakin sesak, lebih sesak dari segala siksaan yang kau lakukan. Tapi, aku tak lagi takut. Ibu, aku benar-benar ingin menemui kematianku hari ini.
Cerpen Karangan: Widia Ayu Lestari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar