Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Ada Cinta di Ujung Usia

Latief Hendrayana, seorang akuntan yang bekerja di sebuah perusahaan keuangan ternama di Jakarta, Money Finance yang di vonis mengidap kanker otak oleh dokter, memiliki tujuan hidup. Menjadi orang yang sangat berguna bagi orang-orang di sekitarnya di sisa hidupnya yang hanya menyisakan beberapa hari.
Pada saat malam pergantian tahun, Latief dengan menggunakan topi, untuk menutupi kepalanya yang botak karena rambutnya yang sudah rontok karena penyakitnya pergi ke bundaran HI, dimana ada acara yang diadakan pemprov DKI Jakarta untuk memeriahkan malam pergantian tahun. Latief pergi kesana bersama teman-temannya, Rahmat dan Alan. Tanpa diduga, Latief bertemu dengan teman semasa kuliahnya di UI, Nafisah.
“Nafisah?”
“Iya?”
“Kamu Nafisah kan?”
“Iya, ada apa ya? Perasaan aku kenal deh sama kamu?”
“Aku Latief, temen kuliah kamu. Masih inget?”
“Oh iya, Latief. Hey, apa kabar?” sembari berjabat tangan.
“Baik, alhamdulillah. Kamu sendiri gimana? Udah lama banget kita nggak ketemu.”
“Baik alhamdulillah. Iya ya, udah lama banget. Kamu sekarang kerja dimana?”
“Aku kerja di Money Finance. Kamu sendiri dimana?”
“Aku lanjut S2 di Bandung. Sekarang aku lagi libur.”
“Oh gitu. Kamu nggak bosen kuliah melulu? Hahaha…”
“Tuntutan orang tua aku sih, kata mereka aku harus lebih pinter lagi dari mereka.”
“Kamu sendirian kesini?”
“Iya nih, Latief. Aku sendirian. Daripada bete di rumah.”
“Ya udah bareng kita-kita aja. Nggak baik lho cewek jalan sendirian.”
“Oke.”
Nafisah pun bergabung dengan Latief dan teman-temannya. Mereka menikmati acara pergantian malam tahun baru di tempat itu dengan penuh kegembiraan. Sampai pada saat yang paling ditunggu-tunggu. Hitung mundur menuju tahun baru 2013.
“5… 4… 3… 2… 1… Selamat tahun baru!” sorak-sorai seluruh peserta acara menyambut datangnya tahun yang baru dengan penuh pengharapan.
Tak lama setelah itu, Nafisah memilih untuk langsung pulang kerumah, karena khawatir orang tuanya akan memarahinya. Nafisah tidak izin dulu kepada orang tuanya untuk datang ke acata itu. Latief pun berinisiatif untuk mengantarkan Nafisah kerumahnya.
“Latief, aku duluan ya.”
“Aku anter ya.”
“Udah nggak usah. Ntar ngerepotin lagi.”
“Udah nggak apa-apa, Nggak baik tau, cewek jalan sendirian malem-malem. Kan bahaya.”
“Beneran nih nggak ngerepotin?”
“Santai aja kali.”
“Oke, kita jalan. Makasih ya sebelumnya.”
“Ntar aja bilang makasihnya, kalo udah nyampe rumah kamu.”
Latief pun bergegas menuju mobilnya yang terparkir yang tak jauh dari tempat acara tersebut.
Setelah sesampainya di mobil, tiba-tiba darah mengucur dari hidung Latief dan mengeluhkan rasa sakit yang tidak bisa ditahan pada kepalanya. Tak lama kemudian, Latief tak sadarkan diri dan terjatuh di dekat mobilnya. Nafisah pun panik
dan langsung memanggil Rahmat dan Alan untuk membantunya.
“Latief, kamu kenapa? Ayo bangun!” Nafisah panik. “Rahmat! Alan! Bantuin dong! Latief pingsan nih. Cepet masukin ke mobil!”
“Astagfirullah! Latief kenapa pingsan, Nafisah?” tanya Rahmat terkejut.
“Aku juga nggak tau, tiba-tiba aja dia pingsan. Udah cepetan angkat dia!”
“Alan! Bantuin dulu ini! Si Latief pingsan! Cepetan kesini!”
“Astaga! Kenapa lagi dia?”
“Udah loe jangan banyak nanya! Ayo cepet angkat! Nafisah, bukain pintu mobilnya!”
“Oke! Cepetan! Hati-hati!”
“Alan, loe yang nyetir!”
“Oke! Bertahan, bro!”
Dengan cepat, Alan memacu mobil Latief. Nafisah pun mencoba mengambil ponsel Latief dan menghubungi keluarganya. Didapatinya nomor milik Icha, adik perempuannya. Nafisah pun menghubungi Icha lewat ponsel Latief.
“Halo, ini Icha?”
“Iya, ini siapa ya?”
“Ini Kak Nafisah, temennya Kak Latief.”
“Oh Kak Nafisah temen kuliahnya Kak Latief?”
“Iya Icha. Sekarang kamu dateng ke rumah sakit. Kakak kamu pingsan. Cepetan ya!”
“Astagfirullah! Iya, Kak. Aku segera kesana!”
Icha pun langsung membangunkan ayahnya dan memberitahukan bahwa Latief masuk rumah sakit.
“Yah, bangun yah! Kak Latief masuk rumah sakit lagi! Tadi kak Nafisah nelpon Icha!”
“Astagfirullah! Ya sudah, ayo kita kesana sekarang!”
Icha dan Ayahnya bergegas menuju rumah sakit. Dengan perasaan khawatir, ayahnya memacu mobilnya dengan sangat cepat tanpa mempedulikan lalu lintas dijalanan Jakarta yang terkenal macet pada saat malam pergantian tahun.
Sesampainya di rumah sakit, Latief langsung dibawa ke ruang UGD untuk mendapatkan pertolongan. Tak lama kemudian, Icha dan Ayahnya tiba di rumah sakit.
“Apa yang terjadi pada Latief, Nafisah?” tanya Ayah Latief panik.
“Jadi gini, Om. Tadi Latief mau nganterin saya pulang. Terus dia ambil mobil nya. Nggak lama kemudian, Latief pingsan dan hidungnya ngeluarin darah!”
“Astagfirullah! Dasar anak yang tidak nurut! Sudah Om larang jangan keluar rumah, masih saja nekat! Om khawatir penyakitnya bertambah parah.”
“Memangnya Latief sakit apa, Om?”
“Dia kenapa kanker otak, Nafisah.”
“Astagfirullah! Yang bener, Om? Udah berapa lama Latief punya penyakit itu?”
“Sejak dia mengerjakan skripsinya. Awalnya dia mengalami stress berat karena skripsinya tidak kunjung selesai. Pada saat itu dia pingsan dan hidungnya mulai memgeluarkan darah. Om panik dan langsung Om bawa ke rumah sakit. Dokter datang dan langsung mengajak om ke ruangan nya. Dokter menjelaskan penyakit Latief. Awalnya Om tidak percaya dan menyangkal hasil tes yang dilakukan dokter. Namun itu semua benar. Om memutuskan untuk merahasiakan ini dari Latief, tapi Latief diam-diam menguping pembicaraan om dengan dokter.”
“Astagfirullah. Pantas saja waktu itu Nafisah sering liat Latief selalu membawa sapu tangan dengan noda darah di sapu tangan nya.”
“Ya begitulah. Tapi om lihat, Latief tidak putus asa dengan penyakitnya. Dia selalu meyakinkan dirinya baik-baik saja. Dia malah bekerja. Padahal sudah om larang dia. tapi memang dia anak pembangkang. Tapi mau bagaimana lagi, om tidak mau mengekangnya. Om tidak mau dia patah semangat.”
Tak lama kemudian, Dokter keluar dari ruang UGD dan menjelaskan apa yang terjadi pada Latief.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?”
“Pak Wawan, bisa kita bicara di ruangan saya?”
“Baik. Kalian tunggu disini ya.”
Ayah Latief pun masuk ke ruangan Dokter.
“Pak Wawan, setelah saya cek, penyakit yang dialami anak bapak sudah semakin parah. Dan saya mohon kepada bapak untuk melarangnya melakukan pekerjaan yang berat dan bepergian sampai larut malam. Karena itu akan memperparah keadaannya.”
“Saya sudah menyuruh Latief untuk tidak pergi malam ini. Namun dia membangkang.”
“Dengan berat hati, saya ingin menyampaikan kabar buruk yang menerpa anak bapak.”
“Apa itu, Dok?”
“Waktu anak bapak sudah tidak lama lagi. Kami mempredikisi bahwa Latief bisa bertahan dalam beberapa minggu saja.”
“Astagfirullah! Apa ada jalan lain, Dok, untuk menyelamatkan anak saya?”
“Kami minta maaf, Pak Wawan. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi, sel kanker nya sudah menyebar ke seluruh tubuh Latief. Mungkin hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan Latief.”
Ayah Latief pun hanya bisa terdiam mendengar penjelasan dari Dokter. Beliau hanya bisa pasrah dengan keadaan yang dialami Latief.
Ayah Latief dan Dokter pun meninggalkan ruangan dokter dan menemui Nafisah. Icha, Rahmat dan Alan.
“Ayah, apa kata dokter?” tanya Icha.
Ayah Latief pun hanya bisa diam dan tidak bisa menjawab pertanyaan putri satu-satunya itu.
“Apa kami bisa melihat keadaan Latief, Dok?” Tanya Alan.
“Baik, kalian bisa menemui nya.”
“Terima kasih, Dok.”
Mereka pun memasuki ruangan tempat Latief dirawat. Tampak wajah dari Latief yang sangat pucat, bibirnya yang kering dan suaranya yang melemah ketika menyapa teman-temannya itu. Tangan dan kakinya pun seakan-akan lumpuh tak bisa digerakkan ketika ingin menyentuh tangan adiknya. Icha yang melihat keadaan kakaknya yang mulai sekarat itu pun hanya bisa menangis.
“Hey, Icha kenapa nangis? Kakak baik-baik aja kok. Udah jangan nangis.” lirih Latief dengan suaranya yang sudah sangat melemah.
“Icha nggak apa-apa kok, Kak. Icha sedih aja liat kakak lemes kayak gitu. Nggak biasanya.”
“Kakak pasti sembuh, Icha. Tenang aja. Bentar lagi juga kakak sembuh kok. Biar bisa bantuin Icha ngerjain tugas-tugas sekolah Icha.”
“Icha juga berharap kalau kakak sembuh, kak.” kata Icha sembari meneteskan air matanya.
“Eh ada Nafisah. Kenapa kamu belum pulang? Ntar papah kamu nyariin lagi.” canda Latief dengan suaranya yang pelan.
Ketika mendengar Latief berbicara, Nafisah pun tak kuasa menahan air matanya yang mulai menetes.
“Yah ditanya malah nangis. Senyum dong. Mana Nafisah yang aku kenal selalu ceria? Oh iya, sorry ya aku nggak bisa nganterin kamu.”
“Iya nggak apa-apa, Latief. Aku bisa pulang sendiri kok.”
“Rahmat sama Alan mana?”
“Gue sama Alan disini, bro.”
“Eh, anterin Nafisah dong.. Kasian dia, malem-malem pulang sendiri.”
“Oke, bro. Gue sama Rahmat bakalan nganterin Nafisah kerumahnya. Ayo Nafisah, kita anter.” Ajak Alan.
“Ya udah ayo kita pulang. Latief, aku pulang ya. Cepet sembuh.” kata Nafisah menyemangati Latief.
“Iya makasih udah nyemangatin aku.”
“Ya udah, gue duluan ya, Latief. Cepet sembuh ya. Eh Alan, loe yang nyetir ya.”
“Oke Rahmat. Mana sini kunci mobil loe?”
“Nih!” Rahmat melemparkan kunci mobilnya pada Alan.
“Om kita pamit pulang ya.”
“Ya udah. Hati-hati ya kalian di jalan. Terima kasih udah nganterin Latief ke rumah sakit.”
“Iya om sama-sama.”
Nafisah, Rahmat dan Alan pun meninggalkan ruangan tempat Latief dirawat. Ayah Latief pun bertanya tentang Nafisah, teman semasa kuliahnya. Diam-diam Latief menyukai Nafisah sejak dia kuliah sampai sekarang. Latief berharap dia bisa mengatakan perasaannya pada Nafisah.
“Latief, itu tadi bukannya nafisah yang sering kamu ceritakan ke Ayah?” tanya Ayahnya.
“Iya itu Nafisah.” jawab Latief. “Aku lupa tadi nggak ngenalin kalian.”
“Ternyata selera kamu bagus juga, nak.” canda Ayahnya yang mencoba menghibur anaknya yang sekarat.
“Siapa dulu dong, Latief.” Latief membalas candaan Ayahnya.
“Ayo tunggu apa lagi, cepat nyatakan perasaan kamu ke Nafisah. Karena ayah lihat, Nafisah nampaknya suka sama kamu.”
“Latief lagi cari waktu yang tepat, Yah.”
“Lebih cepat lebih baik, nak. Nanti keburu diambil orang lho.”
“Baik ayah, Latief akan coba.”
Keesokan harinya, Nafisah datang menjenguk Latief dengan membawa sebuah bingkisan. Nampaknya Nafisah ingin memberikan sebuah hadiah untuk Latief, karena pada hari ini, Latief berualng tahun.
“Assalamu’alaikum…” salam Nafisah.
“Walaikumsalam.” Icha menjawab salam dari Nafisah. “Eh ada Kak Nafisah. Kak Latiefnya masih tidur tuh kayaknya. Mau aku bangunin?”
“Oh gitu. Eh nggak usah Icha. Kasian.”
“Ya udah silahkan duduk, kak.” seraya Icha memberikan tempat duduk untuk Nafisah di dekat Latief berbaring.
“Aku tinggal dulu ya, kak. Aku mau ke Ayah dulu di luar. Kakak nggak apa-apa kan aku tinggal?”
“Oh ya udah nggak apa-apa kok. Hati-hati ya, Icha.”
“Oke. kak. Aku tinggal dulu. Assalamu’alaikum.”
“Walaikumsalam…”
Icha meninggalkan Latief dan Nafisah berdua untuk menyusul ayahnya yang sedang berada di luar untuk sarapan. Tampak Nafisah memandangi Latief dengan penuh perasaan. Tak lama kemudian, Latief pun bangun dari tidur pulasnya.
“Eh ada Nafisah.” sapa Latief, sambil meregangkan badannya. “Icha sama Ayahku kemana?”
Latief tampak sehat pada saat itu.
“Mereka keluar dulu mau sarapan.”
“Oh. Kamu udah lama disini?” tanya Latief perhatian.
“Nggak kok, baru aja nyampe.”
“Oh gitu.” kata Latief sambil menguap dan meregangkan tangan dan kakinya.
“Oh iya, aku bawa sesuatu lho buat kamu.”
“Wah apaan tuh?” tanya Latief sambil terbangun. “Jadi penasaran.”
Nafisah memberikan sebuah kado yang berisi sebuah jersey tim sepak bola Manchester United dengan nomor punggung 7 dan ada nama
“Latief” tertulis di atas nomor tersebut.
“Ini kaos MU. Aku tau kamu itu nge-fans banget sama MU, jadi aku beliin ini. Terus aku cantumin deh nama kamu di kaos ini. Ini sebagai hadiah ulang tahun kamu dari aku.”
Latief terkejut dengan apa yang dikatakan Nafisah. Secara mengejutkan, Nafisah tau ini hari ulang tahunnya dan kesukaannya pada sepak bola, terutama Manchester United.
“Wah bagus banget kaosnya. Ini asli lho. Makasih banget ya, Nafisah. Oh iya, kenapa kamu tau hari ini ulang tahun aku? Padahal aku sendiri aja lupa sama ulang tahun aku sendiri.” tanya Latief. sambil bangkit dari tidurnya untuk duduk.
“Aku masih inget kok ulang tahun kamu waktu masih kuliah.” kata Nafisah.
Pada saat mereka masih kuliah dan pada saat ulang tahun Latief, teman-teman semasa kuliahnya termasuk Nafisah memberikan sebuah kejutan di hari ulang tahunnya waktu itu. Latief dijahili oleh teman-temannya, mulai dari melemparinya dengan tepung, mengguyurnya dengan air dan menumpahkan kue ulang tahunnya ke wajahnya Itu merupakan kenangan yang tidak pernah terlupakan oleh Latief. Dan sampai sekarang, Nafisah masih mengingat hari ulang tahun Latief.
“Um, Nafisah, makasih banget ya hadiah nya. Aku nggak nyangka, kamu masih inget hari ulang tahun aku.” kata Latief.
“Iya sama-sama.”
“Oh iya, aku boleh ngomong sesuatu nggak sama kamu?” tanya Latief dengan gugup.
“Kamu mau ngomong apa?” Nafisah balik bertanya pada Latief dengan penasaran.
Sambil menatap mata Nafisah, Latief pun mulai menyatakan cintanya pada Nafisah.
“Sebenarnya aku suka banget sama kamu. Malahan lebih. Aku cinta banget sama kamu sejak kuliah.” kata Latief dengan terbata-bata karena gugup.
Nafisah pun terkejut dengan apa yang dikatakan Latief. Seakan-akan tidak percaya bahwa Latief akhirnya menyatakan semua perasaannya pada Nafisah.
“Yang bener?” tanya Nafisah gugup.
“Beneran. Benar-benar tulus dari hati aku.” Latief meyakinkan.
Nafisah pun terdiam. Nafisah bingung harus berkata apa.
“Aku juga ngerasain hal yang sama dengan apa yang kamu rasain sekarang.” kata Nafisah yang membingungkan.
“Maksud kamu?”
“Iya, aku juga suka sama kamu. Aku juga cinta sama kamu.” kata Nafisah terbata-bata dan
gugup.
Mereka berdua tersenyum dan saling berpandangan. Latief pun memegang tangan Nafisah dengan penuh kehangatan dan penuh perasaan.
“Kamu mau jadi pacar aku?” tanya Latief.
Nafisah pun terdiam membisu. Dia seakan-akan bermimpi Latief akhirnya menyatakan cintanya pada Nafisah.
“Iya, Latief. Aku mau.” jawab Nafisah dengan lembut.
“Kamu mau nerima aku apa adanya? Dengan keadaan aku yang seperti ini?”
“Aku cinta sama kamu, Latief. Tulus dari hati aku.”
Keduanya pun saling berpelukan. Tampak raut wajah bahagia menyelimuti dua insan muda ini. Tak lama kemudian, Icha dan ayahnya datang ke ruangan Latief dirawat.
“Eh, ada nak Nafisah. Sudah lama disini?” tanya ayah Latief.
“Lumayan, om”
“Keliatannya anak ayah lagi seneng nih. Ada apa, Latief?”
“Nggak apa-apa kok, yah. Cuma seneng aja.” kata Latief.
“Cerita dong sama ayah.”
“Oh iya, aku lupa belum ngenalin ayah sama Nafisah. Ayah, ini Nafisah. Pacar baru aku.” kata Latief sambil tersenyum.
“Oh sekarang kalian pacaran?” tanya ayah Latief. “Akhirnya kamu punya pacar juga, nak.”
“Hey, jangan gitu dong, yah. Kan malu ada Nafisah.”
Nafisah pun hanya bisa tersenyum setelah Latief mengenalkan Nafisah sebagai kekasih barunya pada ayah Latief. Tampak wajahnya yang putih jadi memerah karena malu.
“Nah, gitu dong kak. Jangan kalah sama aku.” canda Icha.
“Eh kamu, kecil-kecil. Sini kamu.” kata Latief seraya ingin menjahili adik yang paling dia sayangi.
“Ayolah kak, aku ini udah kelas 3 SMA. Masa masih dibilang anak kecil.”
“Sudah-sudah kalian ini malah berantem.” ayah Latief mencoba melerai.
“Kak Latief tuh yang duluan.”
“Sudah-sudah berisik! Ingat, Icha. Ini rumah sakit, bukan dirumah.”
Tampak kebahagian terpancar dari semua orang yang berada di ruang VIP rumah sakit. Hal ini membuat semangat hidup Latief bertambah untuk menjalani hidupnya yang lebih baik.
Tak lama kemudian, tiba-tiba Latief terjatuh dari duduknya. Latief pingsan dan darah keluar dari hidungnya. Nafisah, Icha dan ayahnya pun terkejut. Nafisah coba membangunkan Latief, memegang tangannya yang mulai dingin. Icha pun berlari meninggalkan ruangan untuk mencari dokter.
Ayahnya pun memegangi tangan anaknya yang paling dia cintai setelah kehilangan istrinya yang tidak lain adalah ibu dari Latief yang meninggal setahun yang lalu. Tampak Nafisah menangis melihat keadaan Latief yang sangat buruk. Begitu pun ayahnya.
Tak lama kemudian, Dokter dan suster datang bersama Icha. Dokter menyuruh mereka untuk menunggu di luar.
“Pak, Mbak, Ade, tolong tunggu di luar ya. Kami akan memeriksa keadaan Latief.” perintah Dokter.
“Selamatkan anak saya, Dok! Tolong selamatkan anak saya!” ayah Latief memohon pada Dokter.
“Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan nyawa anak Bapak.” Dokter meyakinkan.
Nafisah, Icha dan ayahnya duduk di sebuah kursi yang berada di depan ruangan tempat Latief meregang nyawa. Tampak kegelisahan pada wajah ketiga orang yang sangat berarti untuk Latief.
Tampak Ayah Latief memanjatkan do’a kepada Allah swt. untuk memberikan pertolongan untuk anaknya. Hal Serupa dilakukan oleh Nafisah dan Icha.
Adzan dzuhur pun berkumandang. Mereka memutuskan untuk pergi ke sebuah mushola yang berada di rumah sakit untik melaksanakan sholat dzuhur dan berdo’a untuk kesembuhan Latief.
“Ya Allah, sembuhkanlah anak hamba ya Allah. Hamba ingin melihat anak hamba kembali tersenyum dan melihatnya kembali beraktivitas dengan penuh semangat. Hanya kepadaMu lah hamba memohon ya Allah.” harap Ayah Latief.
“Aamiin…” Icha dan Nafisah serentak mendo’akan Latief.
Sementara itu, Dokter dan Suster mencoba menyadarkan Latief yang mulai sekarat. Namun apa daya, Allah berkehendak lain. Latief pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Mereka bertiga pun menunggu di depan ruangan tersebut untuk mengetahui keadaan Latief. Tak lama kemudian, Dokter menemui ayah Latief dengan wajah yang tampak sedih.
“Bagaimana, dok? Bagaimana keadaan anak saya?”
“Mohon maaf, prediksi saya meleset.”
“Apakah anak saya sembuh?”
Dokter pun hanya terdiam dan rasanya sangat berat untuk mengatakan hal yang sebenarnya pada ayah Latief.
“Dokter, tolong jawab pertanyaan saya! Apa anak saya sembuh?”
“Mohon maaf, pak. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan anak bapak. Namun tampaknya, Tuhan berkehendak lain. Anak bapak tidak tertolong. Latief meninggal, pak” jelas Dokter.
“Innalillahi wa inna illaihi raji’un…”
Ayah Latief sangat terpukul mendengar penjelasan dari Dokter yang menyatakan bahwa Latief sudah meninggal. Nafisah dan Icha pun menangis medengar itu.
“Boleh kami melihat jenazahnya, Dok?”
“Silahkan.”
Mereka memasuki ruangan dimana Latief meregang nyawa karena penyakit kanker otak yang dia idap sejak semester akhir kuliahnya.
Tampak raut wajah yang awalnya bahagia itu pun berubah seketika menjadi kesedihan. Ruangan yang awalnya tampak cerah penuh kebahagiaan, berubah menjadi mendung karena diselimuti rasa duka yang sangat mendalam.
Dengan tabah, ayah Latief berdo’a didepan jasad anaknya agar ditempatkan di tempat yang paling indah di surgaNya.
“Ya Allah. berikanlah tempat terbaikMu di akhiratMu untuk anak hamba yang paling hamba cintai. Sesungguhnya Latief anak yang sangat baik, ya Allah.”
Ayahnya memutuskan untuk membawa jasad anaknya kerumahnya untuk disemayamkan dan dimakamkan di samping makam ibunya, sesuai dengan apa yang dia minta sebelum dia meninggal.
Dengan tabah, ayahnya membantu memasukan jasad anaknya kedalam liang lahat dan mengumandangkan adzan didekat telinga jasad Latief.
Itulah akhir dari seorang Latief Hendrayana, seorang pria yang ingin selalu membuat orang-orang di sekitarnya merasa bahagia, dan dia berhasil mewujudkan keinginannya itu. Ayah dan adiknya yang terpuruk karena kehilangan ibunya bisa kembali tersenyum karena melihat ketegaran Latief. Nafisah, wanita yang dicintainya semasa kuliah dibuatnya bahagia, karena dia menyatakan cintanya pada Nafisah, yang Nafisah tunggu sejak lama.
Cerpen Karangan: Kemal H. Ramadhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar