Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Aku Kamu dan Pelangi

Disaat bersamamu, aku merasa senang, merasa nyaman dan merasa diperhatikan. Hanya sebab itu, caramu membuatku begitu menginginkanmu. Berapa kali telah kukatakan bahwa aku sangat menyukai pelangi, mendatangkan kecerahan di setiap kegelapan. Seperti saat ini, aku berhasil menemukanmu di antara kegelapan itu, aku berhasil menemukan pelangi yang dapat memberi warna hidupku. Aku tak pernah merasa sakit ataupun terluka karena kehadiranmu selalu membuatku merasa istimewa.
Hujan rintik-rintik membasahi atap rumahku, aku hampir saja tertidur jika saja, ibu tidak mengetuk pintu kamarku “ada Iman di teras Diah” ucapnya. Aku keluar kamar dan menghampiri Iman di teras
Iman melihatku dan mengerutkan kening “kamu tidur Diah? Bukankah sore ini kita akan ke pantai untuk melihat pelangi?” tanyanya
“aku kecapek’an Iman” jawabku seadanya
Iman adalah kekasihku, kita berpacaran sejak 5 tahun yang lalu. Sore ini, aku enggan untuk berpergian walaupun rumahku begitu dekat dengan pesisir pantai dan walaupun biasanya aku sangat senang menunggu hujan reda untuk pergi ke pantai melihat pelangi bersama Iman. Aku menoleh keluar rumah tampaknya hujan akan reda, aku mendesah pelan
“Diah, aku besok berangkat ke Paris, kamu berjanji akan memahat namaku saat pelangi terbit” kata itu memekik telingaku, aku mengangguk dan tersenyum masam. Ini alasanku mengapa aku enggan untuk berpergian, aku belum siap untuk berpisah dengannya “ayo berangkat” Iman menggandeng tanganku dan aku menuruti tanpa gairah.
“Diah, kamu akan mengantarkanku ke bendara besok?” Iman berbicara seolah tanpa beban, dia menganggap aku gadis kuat yang tak mungkin rapuh karena kepergiannya padahal, aku begitu takut ditinggalnya sendiri. Jika saja, mimpi kuliah di paris telah lama menemani mimpinya, aku akan memaksanya disini. Menemaniku melihat pelangi
“dari dulu Paris adalah negara impianku. Kesempatan mendapat beasiswa kuliah di Paris itu hanya terjadi sekali, aku ingin memperdalam ilmuku disana. Kamu mengerti kan Diah?” aku mengangguk “Diah dari tadi kau hanya diam saja. Berbicaralah! Aku ingin mendengar suaramu” dia melanjutkan ucapannya tanpa memperdulikan ketakutanku
“aku akan memahat namamu disini” aku menunjuk bongkahan batu besar yang biasa ku duduki dengannya, aku berlutut mulai memahat namanya
“dua tahun lagi aku akan kembali, kita akan melihat batu ini Diah, akan ku bawakan foto menara eifel dan kubawakan film romantis kesukaanmu tapi maaf jika bukan film korea namun, aku akan berusaha mencarinya. Setelah pulang nanti aku berjanji akan memahat namamu di batu ini Diah” Iman berbicara panjang lebar, dia membenamkan kepalaku ke dada bidangnya. Tubuhku gemetar dan tanpa terasa airmataku menetes, aku cepat-cepat menyekanya “Diah, lihatlah ada pelangi! Aku berjanji pada pelangi untuk selalu mencintaimu Diah”
“aku tidak bisa mengantarmu besok, kirimi aku surel jika kamu sudah tiba di Paris” ucapku parau. Iman mengangguk dan tersenyum lebar
Dua tahun, di Korea
Sudah dua tahun ini, aku dirawat di Korea, aku tidak tahu berapa lama lagi aku harus menunggu agar dokter memperbolehkan aku pulang namun, tubuhku begitu lemah untuk menanggung leukimia ini yah, sekitar 5 bulan lalu hampir seluruh organ tubuhku tidak bisa digerakkan, aku hanya terbaring lemah di kasur, aku tak dapat membuka mataku sekedar ingin melihat layar laptop untuk membacanya surel dari Iman, akhir-akhir ini jika Iman mengirimi aku surel, ibu yang membaca tanpa mampu kubalas. Seperti saat ini, ibu menemaniku di rumah sakit “Diah sudah hampir dua tahun ini kamu dirawat di rumah sakit, dokter tak pernah mengatakan kepada ibu bahwa kamu di ijinkan pulang. Anakku, bisakah kamu bertahan? Ibu rela jika saja mengganti penyakit ganas ini nak” ucap ibu menangis, aku mendengarkan ucapan ibu dan teringat bahwa seharusnya Iman telah pulang ke Indonesia.
Aku menggerakkan tanganku menyentuh laptop di hadapanku, aku meraba keypad mengingat huruf di laptopku, jari-jari tanganku mulai mengetik surat untuk Iman, aku tidak tau apa suratku ini terbaca atau tidak namun, semoga Iman dapat membacanya dan mengerti keadaanku. Disela-sela bunyi keypad yang kutekan, aku mendengar tangis ibu seperti ketakutan, aku terpukul mendengarnya dan merasa sakit setiap ibu menangis karena mengkhawatirkanku. Surat untuk Iman telah selesai, ibu membantu mengirimnya karena ibu mengerti bahwa aku kesulitan untuk menggerakkan mousepad. Jari tanganku tak berhenti sampai sini, aku mengetik untuk kedua kalinya.. ‘ibu tak perlu menangis dengan keadaan Diah, Diah tidak apa-apa hanya saja, Diah ingin beristirahat, Diah lelah bu. Maafkan Diah, membuat ibu cemas, Diah ingin ibu dapat menata hidup ibu tanpa Diah kelak, ibu janji kepada Diah bahwa semuanya akan baik-baik saja. Diah menyayangi ibu’ tanganku bergerak menyentuh tangan ibu “iya nak iya, semua akan baik-baik saja” ibu berkata sambil menangis terisak. Seketika itu, rasa sakit menghantam tubuhku, aku tidak bisa menghirup oksigen bahkan, aku tak mampu mendengar tangisan ibu, aku tak dapat merasakan dokter datang memeriksaku dan saat itu, aku dapat menangis, aku dapat mengeluarkan airmata dan menghembuskan nafas untuk terakhir kali.
Iman, di Indonesia
Setibadi Indonesia, Iman memang sengaja tidak memberitahu Diah karena dia ingin memberi kejutan kepada Diah akhirnya, dengan perasaan senang Iman ke rumah Diah tapi, disana sepi beberapa kali Iman mengetuk pintu namun, tidak ada jawaban. Iman berpikir bahwa Diah berada di pantai makanya, Iman pergi menyusulnya. Setiba di pantai tidak ada Diah disana, Iman menghampiri bongkahan batu yang tak asing baginya, dia duduk di batu itu dan menyentuh pahatan namanya, Iman tersenyum ‘kamu dimana?’ gumamnya. Iman kebingungan maka dia menghubungi Diah namun, bukannya menelpon Iman ingin sekali mengecek email terlebih dahulu, Iman terbelalak seketika dia melihat bahwa inboxnya berisi surel dari Diah. Dengan perasaan was-was dia membuka dan membacanya..
Dear pelangi hidupku, aku yakin sebentar lagi kamu kembali ke Indonesia. Maaf Iman, aku tidak biisa menjemputmu di bandara karena aku sedang berobat di Korea, aku hanya bisa terbaring lemah dengan bantuan alat dokter menyelimuti tubuhku. Iman seandainya kamu mengerti, aku bosan disini walau terkadang aku sering menonton film korea kesukaanku namun, bukan itu keinginanku,aku ingin melihat pelangi dan menemanimu memahat namaku di pantai. Iman seandainya kamu mengerti, gadis yang selalu kamu bilang kuat, kini hanya bisa meringkih menahan sakit, aku tidak bisa menggerakkan hampir seluruh organ tubuhku, aku hanyalah gadis yang tak punya harapan hidup. Jujur Iman, aku lelah setiap dokter datang untuk menyuntiikkan obat di tubuhku. Namun, kamu tak perlu merasakan sakit yang aku rasakan. Aku hanya ingin seketika kamu pulang, tolong kabulkan ucapanmu untuk memahat namaku di batu itu, aku ingin kamu mengukir cerita saat kita bersama, saat kita menunggang kuda, saat kita menulis surat untuk tuhan dan mengirimnya lewat balon, saat aku menulis namamu dan ombak menghapusnya, saat kita membuat istana pasir bahkan saat duduk berdua denganmu pun itu sangat mengesankan Iman. Aku ingin jika kau melihat nama di batu itu, kamu akan teringat pada sebuuah nama yang menemanimu melihat pelangi. Iman maaf aku tidak memberitahumu bahwa selama ini leukimia telah menemani hidupku, aku pikir dengan berada disini aku akan sembuh dan dapat menyambut kedatanganmu namun, aku salah, aku hanya bisa menyambutmu lewat surel ini. Iman aku bahagia mengambil keputusan di rawat di Korea, aku berharap kamu juga tak pernah menyesal kuliah di Paris. Tolong Iman, jika saja aku kembali ke Indonesia tanpa hembusan nafas, jagalah dirimu dan berjanjilah padaku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku menyayangimu Iman’
Setelah membaca surel Diah, Iman membenamkan tangan di kepalanya, dia kecewa, sedih dan bingung?, dia bingung harus berbuat apa, Iman merasa sangat bersalah, matanya mulai berair dan dia mendengar bunyi ambulan memekik telinganya lalu, ‘apakah aku harus melangkah melihat pelangi tanpamu Diah?’ gumamnya dalam hati
Cerpen Karangan: Cindiah Syahnaz

Tidak ada komentar:

Posting Komentar