Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Batu Nisan

Kelfin duduk di sisi Shofwa yang terbujur kaku tak berdaya karena penyakit yang dideritanya. Ia masih belum tahu penyakit apa yang diderita wanita yang telah menjadi tunangannya itu. Sejak dari tadi pagi Kelfin menunggui tunangannya itu siuman, tapi sampai pukul sembilan terlindas dari cakrawala jarum jam, tunangannya belum juga siuman. Tak seperti yang ia harapkan.
Mentari terkadang bersinar malu di balik mendung-mendung yang menutupinya. Sinarnya terkadang masuk ke ruangan rumah sakit itu melalui celah-celah jendela yang sedikit terbuka. Sinarnya terkadang datang dan pergi karena mendung yang menutupinya kini telah menjadi mendung yang telah melaskar.
Kelfin menutupi wajahnya dengan kedua tangan yang secara semu mengharap pada Yang Kuasa lewat gerakan-gerakannya. Ia coba mengharap pada Yang Kuasa agar kesembuhan datang menghampiri tunangannya dan mengusir penyakit dari tubuh tunangannya.
Di dalam pengharapannya terbersit ingatan seminggu lalu ia dan shofwa diresmikan dalam satu ikatan pertunangan. Saat itu, ia begitu bahagia seperti telah mempersuntingnya. Tapi kini, kebahagian itu berubah menjadi luka yang tak kan reda sebelum tunangannya sembuh dan kembali sempurna seperti dulu.
Terdengar suara langkahan kaki menuju ruangan itu, tak lama kemudian nampak ayah dan ibu Shofwa menghampirinya.
“Biar kami saja yang menjaga Shofwa, kamu pulang saja…” Ayah Shofwa berucap.
“Biarkan saja, Om. Biarkan saya menunggu Shofwa di sini.”
“Biar kami saja, Nak. Kamu pulang saja, kami khawatir orang tuamu mencemaskan keadaanmu,” ujar ibu Shofwa.
“Kalau begitu, baiklah, Om, Tante. Saya pulang dulu…” Kata Kelfin lalu melangkah pergi meninggalkan sebuah harapan yang ia titipkan lewat cahaya mentari yang terkadang merangsak masuk ke ruangan tempat Shofwa dirawat.
Di luar, mendung beralamatkan hujan menyapa bersama anginnya. Angin yang menerjang Kelfin saat itu seakan menitipkan pesan bahwa hujan akan segera datang bersama anginnya yang siap menerjang.
Ternyata benar pesan yang di bawa angin itu, hujan mengguyur bumi saat Kelfin tertunduk lesu di kamarnya. Sejenak ia hempaskan tubuhnya untuk sekedar melepaskan penat-penat yang di deritanya. Ia pejamkan mata yang tak sempat mengeluarkan air mata luka. Lalu ia pun terbawa arus melodi mimpi yang membawanya menikmati mimpi-mimpi sorgawinya seiring hujan yang mengguyur bumi di luar sana.
Kelfin membuka lebar-lebar jendela kamarnya. Jingga beranak senja hadir di kelopak matanya di tengah kebisingan suara dedaunan padi yang ditampar angin, agar sunyi tidak menemani langkah tidur sang mentari. Jingga yang hadir di matanya, seakan mengucapkan salam perpisahan, juga salam jumpa pada petang yang siap menjelang dengan bulan dan bintang-bintang yang biasa menghiasi langit yang masih dihiasi mendung itu.
Jingga yang hadir di kelopak matanya saat ini sangat berbeda dengan jingga-jingga yang hadir di hari-hari sebelumnya. Di hari-hari sebelumnya, jingga yang hadir di matanya selalu memberikan pesan cinta untuknya, tapi jingga yang dilihatnya kali ini seakan membawa pesan kematian berbau darah bercampur amarah.
Baru lima menit yang lalu ia sampai di rumahnya, karena dari siang ia menunggui Shofwa di rumah sakit di mana tunangannya itu dirawat. Keadaan tunangannya sama seperti saat ia menjaganya tadi pagi. Tunangannya masih belum siuman, tapi anehnya dokter dan orang tua Shofwa tidak memberikan penjelasan tentang penyakit yang diderita tunangannya itu seakan menyembunyikan sesuatu yang memang tak ingin diketahuinya.
Pukul tujuh malam telah terlindas dari cakrawala jarum jam. Sesudah sholat ‘Isya’, Kelfin keluar dari rumahnya. Tak seperti malam-malam sebelumnya, malam ini bintang dan rembulan tidak menghiasi cakrawala keluasan langit seperti biasanya. Bintang yang biasa menghiasi cakrawala langit, malam ini kembali tertutup awan tebal bealamatkan hujan.
Kelfin kembali ke kamarnya, karena bintang-bintang dan bulan tidak menghiasi langit malam itu. Ia duduk di atas tempat tidurnya sembari menyandarkan wajahnya pada kedua tangan yang sedang menengadah selembar asa. Sejenak kemudian ia hempaskan tubuh lemahnya ke tempat tidurnya. Ia coba melupakan penat-penat yang menghantuinya dari pagi. Tapi apa daya, ia tak bisa melepaskan penat-penat yang membelenggu di pikirannya. Hingga akhirnya penat itu pun ikut menemani langkahnya menuju mimpi khayalannya.
Di dalam mimpinya, ia memandangi langit penuh bintang yang bercahaya di matanya. Rembulan pun bercahaya indah di matanya yang nampak sangat berbunga-bunga. Ia pun berangkat membawa mobil Avanza untuk menjemput Shofwa yang telah diajaknya untuk dinner. Sesampainya di tempat dinner, keduanya menyantap hidangan yang telah disajikan oleh restoran. Setelah selesai menyantap hidangan itu, Kelfin berucap pada Shofwa, “Shof, kita sudah bisa dikatakan saling memahami, kita saling mencintai dan juga saling menyayangi, bagaimana kalau kita menikah?”
Pertanyaan Kelfin itu membuat Shofwa berdiri sembari berucap, “Maaf, Fin, aku tidak bisa menikah denganmu.”
“Kenapa shof? Apakah kamu sudah tidak mencintaiku lagi?”
“Bukan, bukan begitu, Fin. Aku sangat mencintaimu bahkan aku sangat siap untuk kamu nikahi, tapi aku tak bisa, ada hal lain yang menghalangi antara kita berdua…”
“Apa itu, Shof?” Tanya Kelfin penasaran.
“Kematian…” ucap Shofwa lalu melepaskan cincin pertunangan di jari manisnya lalu meletakkannya di genggaman Kelfin. Wanita itu pun pergi meninggalkan Kelfin yang masih memikirkan arti di balik perkataan terakhir tunangannya tadi. Sejenak kemudian ia sadar bahwa Shofwa telah meningalkannya, dengan sekuat tenaga Kelfin memanggil–manggil nama Shofwa hingga…
“Fin, Bangun! Shofwa meninggal…” Ucapan ibunya itu membangunkannya dari tidur.
Ia buka genggaman tangannya tanpa memperdulikan ucapan ibunya, sungguh aneh, cincin pertunangan yang diberikan Shofwa di mimpi, kini benar-benar ada di genggaman tangannya.
“Apa yang ibu katakan tadi?” Kelfin bertanya cemas.
“Shofwa meningal…” Ucap ibu Kelfin sambil meneteskan air mata luka.
“Apa? Shofwa meninggal?” Ucap Kelfin lalu mengambil kunci sepeda motornya untuk pergi ke rumah Shofwa.
Sepeda motor yang ditumpangi Kelfin diparkir sembarangan di depan rumah Shofwa yang nampak sedang mengadakan tahlilan. Kelfin segera masuk dan menghampiri ayah Shofwa lalu berucap, “Mana Shofwa, Om?” Tanya Kelfin dengan air mata yang belum nampak turun membasahi mukanya. Ayah Shofwa hanya bisa menundukkan kepala tanpa melontarkan sepatah kata.
“Shofwa meninggal, Nak,” ibu Shofwa menjawab dengan tangis yang seakan tanpa henti membanjiri mukanya.
“Di mana Shofwa dikuburkan?”
“Di pekuburan umum, Nak,” jawab ibu Shofwa.
Kelfin segera mengacu sepedanya menuju pemakaman umum yang memang tak jauh dari rumah Shofwa. Sesampainya di pemakaman umum, ia mencari satu persatu batu nisan bernama Shofwa. Pandangannya terhenti pada sebuah kuburan baru yang masih bertaburkan bunga-bunga segar yang bertuliskan Shofwa di batu nisannya. Dengan cepat, Kelfin berlari menuju kuburan tunangannya itu.
Air mata akhirnya keluar dari mata Kelfin setelah lebih lima belas tahun ia tak mengeluarkan air mata. Kini ia tertunduk lesu di samping kuburan tunangannya dengan tangis yang nampak tak kan reda seakan membanjiri batu nisan tunangannya itu. Tak lama kemudian mulutnya berucap, “Biarlah aku menjadi majnun yang menunggui batu nisan kekasihnya hingga akhir hayatnya.”
Cerpen Karangan: Fairuz Zakyal ‘Ibad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar