Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Wanita Penumpuk Gerimis

Aku takkan menangis. Kau sendiri yang menyuruhku agar jangan menangis. Awalnya aku memang cengeng. Teramat malah. Air mataku begitu saja menetes jika perasaanku terguncang. Tapi sejak saat itu, aku bertekad, aku berjanji tak akan menangis lagi!
“Jangan menangis. Menangis hanya akan membuatmu tak manis lagi,” tersenyum kau berucap, sementara tanganmu menyeka air mataku. Aku hanya bisa menunduk sebab ada ketakrelaan yang mendekam di hatiku.
“Berjanjilah padaku, setelah ini kau takkan menangis lagi.”
Kau menatapku dalam, aku masih terisak lalu mengangguk pelan. Perlahan aku memelukmu erat, tak ingin kau pergi. Mencoba meresapi segalanya dengan harapan semoga pelukan itu bukanlah yang terakhir untuk kita.
“Aku berjanji akan menunggumu, Arul. Lekaslah pulang.”
“Ya, aku berjanji akan pulang untukmu. Aku hanya 4 tahun di kota. Setelah itu, aku akan pulang. Kita akan menikah,” kau berucap penuh kepastian lantas mengelus rambutku pelan, semakin memberiku ketentraman dalam dekapanmu.
“Aku pasti mengabarimu…” kau berucap lirih lantas beranjak menuju bis yang kemudian membuatmu melambaikan tangan. Menjauh dariku.
Semuanya lenyap seketika; segenap perhatian, canda tawa, juga sosokmu yang perlahan menjauh, terus menghilang dari pandanganku bersama lambaian terakhirmu.
Berat sekali melepasmu, sosok yang selama ini terikat erat di hatiku. Tapi tetap harus kurelakan kepergianmu, demi masa depan kita, juga demi cita-cita terbesarmu; menjadi orang pertama yang meraih sarjana di desa ini.
Selepas kepergianmu, hari-hari kian berat kuhadapi. Aku tak bisa. Sungguh tak mampu melepas bayangmu yang terus saja muncul dalam sadar maupun lelapku.
Perlahan aku mencoba menyibukkan diri, berharap bisa sedkit terlepas dari bayangmu yang kian akut dalam benakku. Pagi hari, aku mengajari lansia desa ini agar bisa menulis dan membaca. Sore hari, aku mengajak anak-anak kecil untuk bermain di tengah pematang lantas menuju tempat di mana kita terbiasa menghabiskan waktu bersama, sebuah gubuk kecil di tengah pematang. Aku mengajari mereka tentang kehidupan yang akan mereka jalani, bahwa beban kehidupan akan bertambah seiring dengan jarum jam yang terus berdentang, menuntut sebuah kedewasaan.
Di gubuk kecil itulah, dulu kita terbiasa bersama. Sering kau katakan padaku bahwa kau ingin jadi penulis, penyusun prosa liris. Sebab itu, aku seringkali memintamu menuliskan sesuatu tentangku, meski tak benar-benar tentangku; senyumku, manjaku, atau segala hal yang selama ini kau dapat dariku. Bukankah kau memahamiku dengan amat baik? Tapi kau selalu saja berucap, belum saatnya menjadikanku tokoh utama dalam karyamu.
Kau juga mengajariku banyak hal di sana, terutama mengenai imajinasi tanpa batas yang pada awalnya membuatku bingung dengan olah pikirmu. Katamu, semesta mulanya merupakan gumpalan awan yang kemudian Tuhan bentuk menjadi bermacam-macam atas nama cinta. Kau juga pernah bilang bahwa pelangi yang indah dan langit senja yang kemerah-merahan itu adalah selendang bidadari yang sengaja Tuhan hamparkan ke dunia sebagai bukti cinta-Nya pada semesta. Pun, dengan rembulan dan taburan bintang yang katamu juga sengaja diciptakan Tuhan agar malam tak selalu kelam. Barangkali karena itulah kau sering mengajakku menyaksikan indahnya pelangi, langit yang kemerah-merahan, serta langit malam yang tengah berhias cahaya rembulan dan bintang-bintang.
Sudahlah, aku tak bisa melanjutkan ingatanku tentangmu. Aku belum mampu menerima kenyataan bahwa kau tak lagi di sampingku. Menutup segalanya.
Seperti kau tahu, setelah keberangkatanmu itu, aku terus saja menantikan kabar darimu. Maka setiapkali kulihat tukang pos melewati jalanan panjang itu, aku akan berlari dari tengah pematang dengan membawa harapan besar. Dan di saat harapan itu berujung kekecewaan, mereka, anak-anak itu akan menghiburku dengan tingkah mereka lantas menarik lenganku, kembali ke gubuk itu untuk menyaksikan sunset seperti biasa. Suasana langit jingga yang membuatku makin rindu padamu.
Ingin sekali aku menangis di saat aku teramat merindukanmu. Tapi aku masih dalam tekadku. Aku tak kan menangis. Inilah janjiku padamu.
Hanya satu momen yang kukhawatirkan: ketika kau pulang dengan membawa serta impian terbesarmu. Akankah aku masih mampu tak mengalirkan air mata bahagia atas semua itu? Namun seperti janjiku, aku tetap takkan menangis.
Aku tak menangis saat kekecewaan menghantui diriku sebab dirimu yang tak lagi memberi kabar. Aku tak menangis saat gubuk kecil kita dibongkar paksa atas nama proyek pembangunan jalanan umum yang membelah pematang. Bahkan aku tak menangis kala ayahku meninggal sebab serangan jantung yang beliau derita setelah mendengar sawah satu-satunya, warisan nenek moyangnya, diambil paksa atas nama proyek yang sama.
Aku juga berusaha tak menangis di saat harusnya aku meneteskan air mata; saat kepulanganmu yang berbeda, juga saat kuterima beberapa lembar karyamu yang kunanti-nanti munculnya selama ini, kisah tentangku. Seluruh orang di desa ini menyambutmu dengan tetesan air mata, tapi tidak denganku. Aku tidak lagi seperti wanita kebanyakan yang dengan mudah meneteskan air mata dalam kesedihan, ataupun kebahagiaan yang luar biasa. Aku tak boleh menangis. Inilah yang kudapat darimu dan tetap kupertahankan hal itu.
Selepas kepulanganmu, aku suka sekali bermain hujan. Dalam karyamu, kau gambarkan aku sebagai seorang wanita yang menyukai hujan. Di akhir cerita, kau tiba-tiba mengisahkan aku sebagai seorang bidadari yang mendampingimu dengan sayap bianglala beragam warna, termasuk warna yang menghiasi langit saat senja tiba. Dan kau beri judul karyamu itu dengan, “Bidadari Yang Kutunggu”. Barangkali itulah yang membuatku menyukai hujan setelah membaca karyamu untukku itu.
Aku paling suka ketika hujan mulai reda. Suasana itu selalu mengingatkanku pada awal kita bertemu. Dan di saat itulah, aku menjalankan aktifitas baruku; membuka lebar-lebar plastik yang kubawa, lantas menumpuk gerimis yang masih berlarik dari angkasa. Itulah yang kulakukan di setiap kali hujan turun membasuh semesta. Dan seperti orang-orang itu, kau mungkin juga tak percaya bahwa kulakukan semua ini demi perasaanku dan hanya untukmu.
Aku tak peduli ketika orang-orang menatap iba kepadaku kala dingin mulai berkuasa. Aku tak peduli bisik-bisik mereka yang terkesan mencemoohku. Aku juga tak mempedulikan orang-orang yang menjulukiku perawan tua. Aku sudah tak peduli pada apa pun. Hanya satu, bagaimana sebanyak mungkin aku menumpuk gerimis untukmu.
Dan kini, di saat musim hujan telah berlalu, aku berniat menyampaikan semua ini padamu. Gerimis yang kutumpuk di setiap kali hujan tiba agaknya sesuai dengan yang kuharapkan. Lumayan banyak. Cukup untuk kujadikan hujan agar sampai padamu.
Sesaat lagi, malaikat-malaikat akan turun dan mengambil gerimis yang sekian lama kutumpuk untuk dibawa ke angkasa. Menjadikannya gumpalan awan, lantas menjadi hujan dengan suara tangisan panjang yang teramat memilukan. Itulah tujuanku selama ini menumpuk gerimis, agar orang-orang tahu aku sedang merindu dan sebagai ganti dari tangisanku selama ini. Membiarkannya meresap, merembes, lalu sampai padamu yang telah menutup segalanya. Meninggalkanku yang kini terdiam sendiri di antara kuburanmu yang masih harum semerbak bunga…
*) penulis lepas asal Sumenep Madura, Mahasiswa INSTIK Annuqayah, serta penggiat di Komunitas Cinta Nulis PP. Annuqayah Lubangsa Selatan.
Cerpen Karangan: Fairuz Zakyal ‘Ibad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar