Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Niyala

Di penghujung musim gugur, daun terakhir jatuh terjeremabab pada wajah bumi lusuh bersama kekecewaan yang juga terkubur bersama abu. Mentari akan terbit dengan membawa harapan-harapan baru bagi ranting kehidupan yang telah layu.
Aku — setidaknya menurutku pribadi — adalah orang yang berusaha membahagiakanmu sepenuhnya. Memberimu cinta sebanyak mungkin hingga takkan terjamah hitungan angka-angka abstrak. Aku ingin kau menganggapku sebagai harapan baru bagimu, meski tak seberapa kucurahkan perhatianku padamu, atau bahkan lebih dari itu.
Kusebut kau bidadari senjaku. Karena hanya kaulah wanita yang berkasih mesra denganku di kala langit senja yang berkonstelasi jingga itu. Kaulah itu, Niyala, isteriku.
Setiap pagi kau suguhkan senyum manismu di antara segelas teh hangat yang kau sajikan kepadaku. Kaulah juga yang menyiapkan sarapan pagi untukku, sementara dirikku selalu sibuk menghitung waktu menit per menit yang akan kulalui di kantor tanpa memperhatikanmu. Tanpa mengeja makna buliran keringat yang kau curahkan demi melayaniku, suamimu yang tak pernah memperhatikanmu ini.
“Bagaimana rasanya?” tak henti-hentinya kau lontarkan pertanyaan itu di setiap sajian teh hangat buatanmu. Lalu kujawab, “Lebih nikmat dari yang kemaren” selalu kujawab begitu. Kau pun tersenyum manja di pelupuk mataku, bahagia dengan apa yang kuucapkan itu.
Pernah suatu kali teh sajianmu terasa aneh bagiku. Asin. Bahkan begitu asin. Kupikir kau salah meletakkan gula pada teh itu. Kembali seperti biasa kau berkiprah dengan pertanyaanmu, namun tetap kujawab sama, lebih nikmat dari yang kemaren. Dan aku pun seperti biasa akan tersenyum melihatmu bahagia, meski lidahku getir meminum teh asin buatanmu.
Setidaknya itulah kejadian indah yang sempat terekam dalam memoarku sebelum sesuatu itu menimpa kita, lebih tepatnya menimpamu. Awalnya kau mengeluh padaku bahwa tanganmu mulai sulit untuk digerakkan. Aku paksa kau ke dokter, kau tak mau. Dalihmu, itu sudah biasa bagimu. Akibatnya kini seluruh tubuhmu mulai dari tangan, kaki, sampai mulutmu pun tak bisa kau gerakkan.
Aku datangkan dokter terbaik di negeri ini, dokter itu berucap kau terkena stroke berat dan sedikit peluang untuk sembuh kembali. Tapi aku tak menyerah, kucari sedikit peluang itu di mana-mana. Demi kesembuhanmu, agar kau kembali sempurna seperti dulu. Namun usahaku itu sia-sia, tetap tak kutemukan peluang itu meski di negeri-negeri lain yang berkolongkan teknologi canggih.
Sejak saat itulah, aku yang senantiasa melayanimu, membuat segelas teh hangat untukmu di setiap pagi yang gigil, juga menyuapi suap demi suap nasi kala tiba prosesi makanmu. Tapi tak pernah sedikit pun terbersit dalam pikiranku untuk mencari penggantimu meski kini kau hanya terbaring tak berdaya, meratapiku yang setiap hari melayanimu dengan tangisan tanpa suara.
Ada yang cacat memang dengan perasaanku, perasaan suami yang selalu butuh kehangatan seorang isteri. Namun tidak demikian halnya dengan cintaku padamu. Aku tetap yakin kau akan kembali seperti dulu, kembali melayaniku dengan bara cintamu di malam-malam kita yang begitu syahdu itu.
Setiap hari kuajak kau bicara. Kuceritakan padamu tentang kebersamaan kita dulu, di bawah selendang jingga yang menutupi wajah sang mentari karena malu melihat kebesamaan kita. Tapi kau tetap membisu, seakan kau tak peduli pada kisahku. Kau hanya bisa menitikkan airmata kala kukisahkan tentang tragedi senja yang sedkit menyayat kalbu. Dan terkadang kau simpulkan senyum di bibir mungilmu ketika aku menceritakan kisah-kisah kita saat masih berkasih mesra di bawah naungan jingga dulu.
Aku ingin kau kembali sempurna seperti dulu. Kerana aku begitu rindu seduhan teh buatanmu, juga senyum indah yang kau haturkan padaku kala kau sajikan teh hangat itu padaku. Aku begitu rindu semua itu.
Hingga di pagi itu, saat kau masih terbuai dalam mimpimu, kembai aku buatkan teh hangat untukmu sembari menunggu mentari yang membawa harapan-harapan baru bagi kesembuhanmu. Harapan itu kudengar dari temanku yang berada di negeri jauh sana, ada pengobatan alternatif yang kemungkinan besar dapat menyembuhkan penyakitmu. Aku aduk teh itu dengan hati berbunga-bunga, berharap bisa menciptakan rasa yang berbeda dari biasanya.
Aku duduk di sampingmu. Menunggumu bangun untuk menyampaikan berita bahagia ini sambil terus mengaduk-ngaduk teh ke kanan lalu ke kiri.
Satu dua jam kutunggu, kau tak juga membuka matamu. Kupikir kau begitu nyenyak sebab mimpi-mimpi yang kau rangkai. Namun hingga hari mulai menguning, kau tak juga membuka matamu. Tak seperti biasanya kau begitu.
Ada detak kekhwatiran yang perlahan menjalar dalam dadaku saat kau tak juga bangun membuka matamu. Kuhampiri tubuhmu, berusaha melihat kondisimu. Kupanggil-pangil, kau tak sama sekali bereaksi. Detak kekahwatiran itu semakin terasa sekali.
Kucek denyut nadimu, hanya kekosongan yang kutemukan di sana. Aku masih tak percaya, kudekatkan telingaku ke dadamu, berharap akan mendengar detak jantungmu. Namun tetap saja, tak kudapati apa-apa di sana. Kugerakkan-gerakkan badanmu dengan air mata yang perlahan tumpah dari mataku, tapi kau tetap saja lunglai. Aku pun hanya bisa menangis, berteriak, dan menyesali harapan yang nyaris saja menjadi kenyataan, seperti sebuah kehidupan yang tertinggal dalam kesunyian.
*) penulis lepas asal Sumenep Madura, Mahasiswa INSTIK Annuqayah, serta penggiat di Komunitas Cinta Nulis PP. Annuqayah Lubangsa Selatan.
Cerpen Karangan: Fairuz Zakyal ‘Ibad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar