Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Kesetiaan Purnama

Di setiap kali purnama tiba, Icha selalu menjemputku saat malam telah memasuki paruh usia. Menarik lenganku melewati jalan setapak menuju pematang sawah, di mana terdapat pohon-pohon padi yang tampak kekuningan diterpa cahaya keemasan purnama.
Dengan sesungging senyum, ia mengajakku berlari-lari kecil di sepanjang pematang, melompat-lompat riang, berteriak, bahkan bermain lumpur sawah di antara bias penuh cahaya.
Sesekali tangannya yang penuh lumpur, ia poleskan ke badanku; pipi, hidung, bahkan ke baju putih yang tengah kukenakan. Membuatku harus rela bersabar sejenak, karena pada saat-saat itulah, aku dapat melihatnya begitu bahagia, lebih dari biasanya, dan aku pun akan tertegun melihatnya. Tertegun begitu lama. Lama sekali. Hingga kemudian ia keheranan melihatku yang hanya tercenung memperhatikannya tanpa jemu. Kemudian aku akan melumuri tanganku dengan lumpur dan mulai beranjak menujunya yang hedak berlari menghindari balasanku. Merangkulnya dari belakang dan mulai memolesi wajahnya yang indah di antara keceriaan penuh tawa.
“Oh ya, Arul. Aku ingin tahu mengapa kau lebih suka bulan dari pada bintang-bintang.”
Ia menatapku datar.
“Ya, karena menurutku terlalu banyak bintang yang menghiasi angkasa saat malam menjelang, dan kemungkinan menyukai bintang yang berbeda di setiap malamnya, sangatlah mungkin akan terjadi. Tapi tidak demikian halnya dengan rembulan, Cha”
“Tapi kan terkadang rembulan menghilang, Arul?”
“Ya, memang. Kadang rembulan hanya muncul separuh, kadang sabit, bahkan seperti katamu akan menghilang ditelan sepi. Tapi tentunya kau tahu, Cha”
“Tahu apa?”
“Kau tentunya tahu, bahwa sebenarnya bukan rembulan yang menghilang, tapi kita”
“Mengapa bisa begitu?”
“Ya, karena kita sama-sama tahu bahwa rembulan tidak pernah menghilang. Rembulan itu ada, meski selalu butuh bias matahari untuk bercahaya. Sedangkan rembulan tidak pernah tahu apakah ketika ia kembali bercahaya, masihkah kita tetap berada di sini menunggu cahayanya? Maka dari itu, bukanlah rembulan yang menghilang, tapi kita..”
Ia menatapku lekat. Sedikit mengernyitkan dahi.
“Dan masih ada satu alasan lagi, Cha”
“Apa itu?”
Ia kembali mengernyitkan dahi.
“Karena hanya rembulan yang bisa menghadirkanmu untukku, membuat kita bisa bercanda tawa bersama seperti halnya malam ini.”
Ia tersenyum ke arahku. Kali ini ia tersenyum tak seperti biasanya. Lebih indah. Lebih memukau.
“Ah, sudahlah. Ayo kita lari-lari lagi, Arul”
Ia menarik kembali lenganku. Kembali berlari-lari riang, melompat-lompat, juga berteriak ke arah purnama yang tengah bersinar sempurna.
Bila ia telah lelah bermain-main, ia mengajakku menuju sumber mata air di pinggiran pematang dengan tawa yang sesekali masih tersisa. Membersihkan muka yang kotor dengan jernihnya mata air yang begitu gigil sebab malam yang tinggal seperempat usia.
“Arul, lihatlah wajahmu. Hkhk”
“Mengapa dengan wajahku, Cha?”
“Hhkhk, gak pa-pa. Cuma sedikit belepotan kayak orang-orangan sawah”
Ia memercikkan air ke arahku dengan tawa yang terus saja menjadi. Dan begitulah kami melewati malam-malam purnama bersama di antara bias penuh cahaya. Ya, meski nyaris dengan cerita yang sama.
Begitu selesai, ia akan mulai menyelonjorkan kakinya di atas hamparan batu yang tersusun rapi tepat di pinggir sumber dengan wajah yang tiba-tiba muram. Lalu perlahan, aku akan menghampirinya dengan keheranan, berusaha menghapus wajah sedihnya dengan mengajaknya menyaksikan purnama bersama.
“Coba kau lihat purnama itu, Cha. Menakjubkan bukan?”
Ia tertunduk. Terisak.
“Mengapa kau menangis? Maafkan aku Cha, maafkan aku! Sini, biar kuseka air matamu.”
Kuseka perlahan air matanya. Ia masih tertunduk. Terisak.
“Mengapa kau menangis, Cha? Apakah kata-kataku tadi menyakiti perasaanmu? Atau ulahku tadi, mengotorimu dengan lumpur yang membuatmu tiba-tiba jadi sedih begini?”
Ia menggeleng.
“Terus, mengapa kau menangis? Oh ya, atau jangan-jangan karena pertemuan kita yang hanya di setiap kali purnama saja? Ya, hal itu juga membuatku risih. Kau tahu mengapa? Karena aku tidak bisa selalu bersamamu, tidak bisa menemanimu di setiap waktu yang kau miliki.”
Ia tertunduk semakin dalam. Semakin terisak.
“Lho, kok kamu malah nangis lagi? Ada apa sebenarnya, Cha? Sudah sini biar kuseka lagi air matamu.”
Kuangkat kepalanya perlahan, menyeka kembali airmatanya.
“Sudahilah tangisanmu itu, Cha. Karena dengan begitu, kau juga membuatku sedih. Sudah, sudah, ayo sini…”
Perlahan kuambil kepalanya, menyandarkannya ke pundak kiriku. Isaknya masih jelas terdengar di antara gemerisik dedaunan padi yang bergemuruh saat angin malam melambaikan sentuhan dingin tentang kelembutan.
“Tidak Arul, tidak! Tidak ada sedikit pun perkataanmu yang menyinggung perasaanku. Hanya saja, aku begitu kasihan padamu, Arul. Sebab sudah tak terhitung pengorbananmu menemaniku yang hanya bayangan semu ini.”
Ia menatap lekat-lekat mataku.
“Ya, kau harus sadari itu, Arul. Kau harus sadari bahwa sebenarnya aku ini hanya bayangan semu saja, hanya siluet yang akan segera menghilang saat malam telah mencapai penghujung usia.”
Aku menunduk. Sedikit sesak.
“Bukan maksudku mengungkit-ngungkit ini semua, Arul. Namun itulah keyataannya. Ketika malam mulai terkikis pagi, aku pun akan menghilang. Sedangkan kau tetap diam di sini, memeluk lutut di antara tangisan sendumu hingga mentari memberi kehangatan di pagi hari. Kemudian kau akan pulang penuh penyesalan dengan mata yang sembab oleh air mata. Bukankah begitu yang selama ini kau lakukan, Arul?”
Ada yang menetes.
“Oh tidak! Matamu nanar, maafkan aku, Arul! Maafkan aku! Bukan maksudku menyakitimu…”
Ia memelukku dari samping, menghangatiku dengan dekapan lembut dan hembusan nafasnya yang berhembus di sekitar leherku, membuatku begitu yakin bahwa semua ini nyata. Begitu nyata.
“Sudahlah, ayo kita nikmati saja pertemuan semu kita kali ini, Arul”
Ia menarik lenganku, menyuruhku berdiri untuk melanjutkan perjalanan, melewati setapak demi setapak pematang, hingga fajar mulai menyingsing di akhir malam.
Sepanjang perjalanan, aku tak pernah mengeluh saat disuruhnya tertawa, melompat, bahkan berteriak tak karuan ke arah purnama. Dan perlahan, aku akan mengeluarkan bolpoint dan buku yang selalu kubawa setiap kali purnama untuk mengabadikan semua itu, saat dirinya tersenyum, manyun, dan melonjak kegirangan di antra siluet fajar yang mulai nampak di kejauhan. Menjadikannya kumpulan kisah purnama yang terus setia mengahadirkannya untukku, meski dengan cerita yang sama, bahasa yang sama, juga air mata yang tak pernah jatuh berbeda
Dan ketika fajar mulai menyingsing di kejauhan, ia selalu mengajakku menuju sebuah gundukan tanah liat di tengah pematang. Gundukan itu cukup luas, cukup untuk memuat dua atau tiga orang. Meski agak sedikit basah sebab kemarau yang tak kunjung datang, namun tempat itu tetap menjadi tempat yang begitu nyaman untuk meyaksikan sunrise dan sunset bersama.
“Arul, kau lihat sunrise itu? Menakjubkan bukan?”
“Ya, sangat menakjubkan”
“Apakah kau ingin aku mejadi sunrise itu, Arul?”
“Tidak, Cha”
“Mengapa Arul? Tidakkah sunrise itu begitu mempesona?”
“Ya, sunrise itu begitu mempesona, tapi tidak sedikit pun menyaingi keindahan pesonamu, Cha”
Ia menoleh sumringah padaku, membuat tatapan kami untuk sejenak bertemu. Dan tak lama berselang, ia sandarkan kembali kepalanya ke pundak kiriku.
“Namun begitu, sebentar lagi aku akan menghilang, Arul, akan lenyap bersama sunrise itu”
“Apa yang kau katakan itu, Cha? Akankah kau tidak senang dengan pertemuan kita ini, hingga kau harus meninggalkanku di setiap kali malam purnama telah tiada?”
“Bukan! Bukan begitu, Arul. Namun demikianlah aku adanya. Aku akan datang menemanimu di setiap kali purnama tiba, dan akan menghilang bersamaan dengan memerahnya jingga”
Ia kembali memelukku dari samping. Dekapan hangatnya kembali menghangati tubuhku untuk yang kesekian kalinya, namun perlahan kehangatan itu memudar dan terus saja memudar.
“Cha, sebentar lagi sunrise akan segera meninggi, apakah benar kau akan…”
“Icha…! Cha…! Icha…!!!”
Tak kutemui lagi sosok Icha di sampingku, ia menghilang begitu saja tanpa sedikit pun meninggalkan bekas. Kupanggil-panggil namanya di setiap penjuru, namun yang menjawab hanya gemerisik dedaunan padi yang telah tertimpa cahaya kehangatan mentari.
Kusisir kembali pematang sepanjang pagi, berteriak sekuat tenaga memanggil namanya, berlari dan terus berlari hingga tak tersisa sedikit pun daya dalam tubuhku ini. Dan aku pun akan terjungkal tak berdaya di antara lumpur yang basah dengan terus menyebut namanya dengan suaraku yang mulai serak, sebab mataku yang kembali sembab oleh air mata.
Kuperhatikan kembali siluet pagi yang telah merenggut Icha dari sampingku. Meratapi segala apa yang telah terjadi dengan penuh penyesalan, dengan rintihan tanpa suara.
Di akhir penyesalan, seperti biasa seseorang akan menyentuh lembut bahuku dari belakang. Ibuku, selalu ibuku yang menemuiku dengan hal yang sama di setiap kali penghujung malam purnama; memeluk lutut, menyesali purnama yang telah tiada dengan mata yang sembab oleh air mata. Lalu perlahan, ia akan menjulurkan tangannya yang lembut ke arahku, mengajakku pulang untuk berhenti berangan-angan tentang Icha yang telah hilang begitu lama.
Sepanjang pulang, kulihat orang-orang menatapiku dengan iba, di sawah-sawah, sepanjang jalan, bahkan di celah-celah jendela setiap rumah yang kulewati. Dan mereka akan mulai bercerita pada anak-anak mereka, pada cucu-cucu mereka, tentang seorang pemuda yang kehilangan kekasihnya begitu lama dan selalu mengigaukannya di setiap kali purnama tiba. Pemuda itu selalu membawa sebuah buku yang menceritakan kisah yang sama, dengan bahasa yang sama, dan tentunya dengan air mata yang tak pernah jatuh berbeda. Pemuda itu, aku.
*) penulis lepas asal Sumenep Madura, Mahasiswa INSTIK Annuqayah, serta penggiat di Komunitas Cinta Nulis PP. Annuqayah Lubangsa Selatan.
Cerpen Karangan: Fairuz Zakyal ‘Ibad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar