Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Melangkah Pergi

Sinar mentari beranjak pergi diiringi jingga yang mengusik sunyi, bintang-bintang bertaburan diikuti bulan yang perlahan menyeruak ke permukaan, menaburkan cahaya terang penuh kedamaian membuang resah dan galau yang membuncah di relung hati para pujangga keagungan. Sajak-sajak merdu aroby yang jatuh di mikrofon-mikrofon masjid, hilir mudik terbang bersama angin menuju para pemuja keagungan-Nya. Hanya pada-Nya!.
Aku terus berjalan menyusuri pinggiran pantai, membiarkan malam merasuki pikiranku yang selama ini beku. Menasbihkan syair-syair cinta di setiap shimphoni waktu yang terus bergerilya, membuatku mengerti arti penciptaaan yang begitu sempurna.
Betapa kuasanya Tuhan menciptakan langit biru dengan awan-awan indah yang ditenunnya menjadi gugusan awan yang begitu cantik, begitu sempurna! Tak urung membuat mata bidadari kayangan terbelalak kagum dibuatnya. Dan ketika malam datang menjelma, Tuhan titahkan bulan dan bintang untuk menghiasi langit malam di kala kegelapan yang semakin tenggelam, sebagai cahaya abadi bagi penciptaan yang begitu hakiki.
Malam semakin mengepakkan sayap bersama bulan yang kian memancarkan sosok ayunya. Jauh di ujung pandangan mata, sekelebat bayangan hadir di tengah temaram cahaya bulan, bayangan yang nampak seperti sosok wanita itu berlari kencang dengan tangis sayu yang hadir di setiap derap langkahnya, membuat bulan dan bintang yang bercahaya keheranan dibuatnya.
Derap langkah itu berhenti di depanku dengan tangis yang masih nampak tak reda. Aku tatap dalam-dalam sosok itu, sosok putri malam yang dibanjiri air mata, lalu kucoba kenali sosok yang seakan tak asing lagi bagiku, tak asing bagi hidupku.
“Shofwa, kau…” ucapanku terputus saat sosok itu mendaratkan pelukan kerindunnya ke tubuhku.
“Kelfin maafkan aku, semuanya begitu cepat!” ucapnya lirih di dadaku.
Rasa heran dan iba bercampur menjadi satu, menemani di setiap detak jantungku juga mengalir bersama aliran darahku, membuatku melupakan setiap inci kehidupan yang selama ini kujalani, tak ubahnya grafitasi luar biasa yang menghipnotisku masuk ke alamnya. Alam rasa-nya!.
“Sejak kecil, aku di jodohkan oleh orang tuaku dengan sahabatmu, Ardi!”
Kata itu menyeruak masuk kehati yang terdalam. Menghujam! Bagai belati yang menghujam telak di hatiku, membuatku tak berdaya tanpa kata dan hidup tanpa raga, tak ubahnya mentari tanpa sinar dan laut tanpa air yang menjadi penentu eksistensinya. Tak bisa tanpanya!
Bulan dan bintang yang sedari tadi bersinar, kini tertutup awan kelam yang berusaha merebut keberadaannya. Cahaya bulan yang meliuk dipermukaan air laut juga tak nampak lagi wujudnya, sedangkan gemuruh ombak yang tak kenal lelah saling kejar mengejar, bagai bunyi genderang pertanda perang yang menjajikan kematian.
Pelangi kegelapan hadir di setiap penjuru mata angin, me-naif-kan segala rencana menuju pelaminan yang telah kurajut bersamanya, sebagai bukti cinta yang terdalam. Kini, berita buruk itu datang membawa badai ganas bagi mimpi-mimpi khayalan yang tak sempat kuwujudkan..
“Maafkan aku juga, Fin, aku juga tak menginginkan ini terjadi.”
Kata itu terlontar dari sosok Ardi yang baru menampakkan muka bersama kedua orang tua Shofwa..
“Kelfin…!” terdengar suara panggilan berkesan perintah yang terlontar dari ayah Shofwa yang terkenal keras.
“ini..!” suara itu kembali menggelegar bersama surat undangan pernikahan yang terhempas di tangan kananku.
“Kami ingin kau datang pada pernikahan anak kami, dan untuk tatapan terakhirmu untuk keduanya!” ibu Shofwa ikut berbicara dengan menyunggingkan seringai ejekannya.
“Setelah menikah, mereka berdua akan tingal di Amerika, jadi, ini kesempatan terakhirmu untuk bertemu mereka…!” ibu itu kembali bersuara dengan nada angkuhnya.
Ada nada aneh yang menelusup masuk ke tubuhku, seperti desahan nafas berbau darah hinggap di hatiku, memberikan nelangsa neraka bagi jiwaku yang luka.
Perlahan kedua orang tua Shofwa menarik tangan Ardi dan Shofwa untuk menjauh dariku. Keduanya memberontak sekan tak ingin jauh dariku, tapi dengan kerasnya mereka terseret dan menghilang di kejauhan seakan bersembunyi di balik tebing irama malam.
Malam semakin larut dengan bulan dan bintang yang tak nampak lagi menghiasi cakrawala langit, tertutup awan kelam yang beralamatkan hujan. Aku masih berlutut membuang pandangan pada titik hilang di ujung lautan. Surat undangan yang masih tergenggam di tangan tak ubahnya bara panas yang tak kan pernah padam. Tak akan!
Aku kembali berjalan menyusuri bibir pantai dengan mata yang terfokus penuh pada jingga pagi yang mulai memancarkan warna di ufuk timur sana. Perlahan kehitaman langit malam terwarnai oleh jingga pagi yang membawa kenangan-kenangan indah bersama sunrise yang mulai muncul ke permukaan, hendak mengucapkan salam kehangatan untuk semesta alam.
Bersama sunrise yang terus menyusuri jalurnya, biarlah kulewati setiap detik nestapa waktu yang terus bergerilya, sebagai harga mati bagi hati yang terluka, juga sebagai madu neraka bagi jiwa yang tenggelam bersama sunset ke tempat peraduannya. Biarkan!
Dan ketika waktu terus melantunkan dentumannya, maka pengharapan dan sejuta impian berubah menjadi aksara–aksra kelam yang terpahatkan di jiwa, hanya bisa membayangkan seribu satu luka yang juga akan membawa pada jurang nestapa.
Ketika kulihat Ardi dan Shofwa bersanding di pelaminan dengan berhiaskan baju pengantin yang nampak mahal, tak ada senyum kebahagiaan! Tak ada kata yang keluar! Keduanya seakan terkunci sandi-sandi kelam yang terbungkus ke-tidak terima-an. Mereka memilih bugkam seribu bahasa dan hanya mengheempaskan pandangan-pandangan kosongnya pada para undangan yang ada.
Saat tatapan kosong Shofwa tertuju ke arahku, ada senyum yang menghiasi raut mukanya, seperti sebuah pengharapan yang terwujudkan. Tapi di matanya, tersirat sejuta pengharapan lain yang tak terwujudkan. Hatinya menangis, meratapi sejuta angan tak terwujudkan yang juga telah kurangkai bersamanya.
Perlahan aku menghampiri Ardi dan Shofwa yang nampak gelisah, meski pernikahanya dirayakan dengan megah dan mewah. Aku tetap tenang, walau dalam hati menyimpan luka di atas luka yang menyibak misteri dunia, dan kini aku harus menyampaikan selamat untuk luka yang membebani palung terdalam di jiwa ini.
“Selamat, kau menikahi kekasihku, jaga dia baik-baik.” ucapanku membuatnya tertunduk, diam tanpa kata, bagai juga merasakan luka yang kurasakan sebagai luka terperih yang pernah ada.
Aku lalu hempaskan pandangan pada Shofwa yang menahan air mata agar tidak jatuh membasahi permukaan pipinya. Kakiku melangkah menghampiri lalu berkata, “Jangan sedih Shof, biarkan luka ini tenggelam bersama sunset di ujung laut sana…”
Ia tak bisa lagi menahan air mata untuk mengalir deras di permukaan pipinya. Ada saat indah yang terlintas di benaknya, saat-saat bersama ketika menikmati indahnya sunrise saat mentari bangun dari tidurnya dan sunset saat mentari kembali ke tempat peraduannya. Saat-saat indah yang tak pernah terlupakan!
“Biarlah jingga yang selalu menaburkan pancaran sorganya menjadi saksi betapa kelamnya hatiku saat kau bersanding dengan sahabatku. Percayalah, dalam hatiku dirimu takkan lekang oleh waktu seperti mentari yang selalu menyinari bumi. Hanya untukmu. Maka tersenyumlah, karena senyummu lebih dari cukup untukku.”
Tangisnya semakin menjadi, dan aku melangkah pergi…
Cerpen Karangan: Fairuz Zakyal ‘Ibad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar