Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Penantian Abadi

Setidaknya, lima tahun sudah aku mengabdi sebagai pencari ulung dengan warna tinta yang tak pernah pendar, terhitung sejak aku lulus sekolah dasar Desember 2006 lalu. Saat itu, tak pernah sedikit pun aku menyangka akan bernafaskan kata-kata hingga saat ini. Namun yang pasti, setelah aku lulus SD dulu, ada yang tertinggal di sana: ketika memoar-memoar indah yang selalu terekam jelas, berubah menjadi kegetiran dan penderitaan yang sangat, di tambah lagi dengan dirinya yang tiba-tiba saja menghilang, meninggalkan kerinduan yang membuncah saat ini, saat lima tahun mulai beranjak menapaki hari.
Sebenarnya, aku masih bingung untuk menerjemahkan rasa ini, rasa yang muncul kali pertama dan mungkin untuk yang terakhir kalinya, sebagai kegelisahan menyenangkan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Kali pertama rasa aneh ini muncul, saat tanpa sengaja tatapan kami – aku dan dia, Shofwa namanya – beradu di sebuah pagi yang rinai. Di kedalaman matanya, kutemukan cahaya ketulusan dan kejujuran di sana, juga sebuah bintang yang terus saja bersinar terang pada sebuah senja yang menguning di antara pematang hatiku. Dari sinilah rasa ini mulai bergejolak dan semakin kuat saja ketika hari demi hari di sekolah, kulewati begitu saja dengan hanya memperhatikan bintang itu, cahaya Betlehem itu.
Namun, sengaja kusimpan rapat-rapat rasa itu, tanpa sedikitpun kuungkapkan padanya, juga pada sahabatku di sana, yang pada akhirnya menyebabkan malapetaka ini terjadi.
Tak sedikit pun aku menyangka bahwa sahabatku juga memiliki rasa padanya. Baru aku tahu semua itu, saat di suatu pagi yang suram sebab gugusan mendung yang berarak tak kunjung menjadi hujan, ia menarik lenganku menuju kelas sebelah sambil berucap, “ayo ikut aku sobat, Insya Allah hari ini, hari terindah dalam hidupku.” Ia berjalan di depanku dengan langkah pasti. Melewati deret per deret bangku dengan begitu cepat.
Langkahnya baru terhenti saat tepat berada di depan sesosok wanita yang tak asing lagi bagi hidupku. Ia kemudian berjongkok sembari mengeluarkan sebuah kado kecil yang sejak tadi ia selipkan di saku seragamnya.
Oh, tidak…, mugkinkah…?
Kutulis oretan ini bersama derai air mata yang terus mengucur dari dua mataku, tanpa bisa kuseka untuk sekedar menghapusnya. Karena memang, dengan mengungkit kembali kisah ini, sama halnya dengan mencakar kembali luka yang telah terkubur sekian lama bersama abu, mengembalikanku pada masa buram yang sebenarnya telah lewat bersama angin lalu.
Namun begitu, tetap harus kurampungkan cerita ini agar menjadi sebuah sintesa waktu tentang kerinduan tak bertepi, meski jari jemariku mulai lemah kini untuk merangkai kalimat-kalimat mutiara sebab mataku yang selalu saja nanar, sembab oleh air mata.
Sejak saat itu, hidupku berubah. Hari demi hari kian berat kujalani, yang kemudian berdampak pada keaktifanku di sekolah. Aku lebih memilih berdiam diri di rumah sambil menumpahkan kekecewaanku pada selembar kertas yang kemudian kusobek begitu selesai, dari pada harus datang ke sekolah, mendengarkan cerita-cerita bahagia dari sahabatku yang membuatku kian terpuruk, menatapi luka yang menganga dengan sesungging senyum yang memang sengaja kupaksakan, agar tidak membuat sahabatku sedikitpun merasa kecewa.
Di akhir tahun, aku lulus dengan membawa segenggam luka yang tak pernah terjamah kata. Luka yang lama kelamaan berubah menjadi kerinduan yang sangat dan hanya mampu sedikit terobati saat purnama tiba.
Di setiap kali purnama, aku tak pernah bisa sedikitpun memejamkan mata, sebab di sana, tepat di tengah perbani bulan itu, hampir pasti kulihat wajahnya tersenyum ke arahku, membuatku mulai merangkai satu persatu kalimat madah pujian yang sudah tak bisa terhitung banyaknya kini.
Tak pernah sedikit pun terbersit keinginan untuk menyebar dan menerbitkannya di media-media, biarlah semua itu menjadi lembaran-lembaran sayu yang tak pernah terjamah siapapun, kecuali aku, Tuhan dan mungkin seseorang yang selama ini aku tunggu. Cukuplah ‘Reinkarnasi Rembulan‘(Kejora), ‘Betlehem’ (RB), dan karya ini saja yang kuikrarakan pada para pembaca untuk sedikit tahu tentang penantian abadiku.
Atau mungkin, pada suatu hari nanti, takdir akan memaksaku untuk menyebar luaskan semua itu, saat semua pengharapan dan doa gugur bersamaan dengan daun terakhir yang terjerembab, jatuh tak berdaya ke bumi.
Namun yang pasti, aku tak ingin karyaku itu terbaca parcuma oleh orang-orang yang hanya bisa membaca dan mengeja saja, tanpa sedikitpun peduli terhadap makna dan esensi yang ada. Aku ingin, karyaku dicermati betul dengan seksama oleh orang yang betul-betul ingin mendikte makna penantian abadiku, membuka satu persatu lembar-lembar itu hingga akhirnya tiada lagi yang bisa kucatat dalam lembaran-lembaran baru.
Entahlah? Aku tak yakin masih ada orang yang akan seksama memperhatikan karya-karyaku itu, dan mungkin lembaran-lembaran itu akan kubiarkan saja terbengkalai termakan usia, sebagaimana tatapan itu menyisakan rasa dan luka yang belum pernah kurasakan sebelumnya, yang pada akhirnya meninggalkan aku yang tergolek lemas di ujung ruang cahaya, sembari tersenyum kesakitan, meratapi tarian luka dengan tangisan dan rintihan tanpa suara.
Sedikit pesan teruntuk pembaca: maaf, jika oretan ini begitu kacau terasa, sebab saat ni, saat aku tulis oretan ini, rembulan tak muncul menghiasai malam yang sunyi, di tambah lagi dengan mendung yang tak memberi celah sedikit pun pada bintang untuk sekedar melambaikan tangan.
kemudian teruntuk orang yang selama ini kutunggu: kapankah kau akan muncul menemani malam-malamku? Menjadi Reinkarnasi bagi Rembulan yang tak kunjung muncul kini, sebab tanpa kau dan rembulan yang ada di sampingku, otakku tumpul untuk melahirkan kata-kata yang sedikit berotasi, karena kau adalah kamus besar bahasa-bahasaku selama ini. Dan terimakasih atas setiap bahasa yang kau titipkan pada rembulan untuk kemudian mencurahkannya padaku, meskipun kau tak pernah dan mungkin akan tahu hal itu.
Dan terakhir, untuk seluruh orang di dunia ini: terimalah salam kerinduan abadi yang tak pernah sedikit pun akan lekang oleh dimensi ruang dan waktu.
Dariku,
Pecinta ringkih yang tergopoh menuju-Mu, kau, ada dan tiadaku.
Cerpen Karangan: Fairuz Zakyal ‘Ibad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar