Selasa, 12 November 2013

Cerpen - Harapan yang Gugur Kala Senja Hampir Khatam

“Biar kurampungkan saja rasa ini, perlahan”, gumam Ayyu seraya mengusap buliran air mata yang sudah membanjiri pipinya.
Ayyu.
Wajahnya yang ayu membuat mata yang melihat enggan untuk berpaling. Tak sedikit pria yang menaruh hati padanya. Namun seringkali Ayyu mengabaikan, karena hatinya sudah tertambat pada Denny.
Yah, Denny. Pria sederhana namun penuh kharisma itu adalah teman satu kampus. Namun berada di fakultas yang berbeda. Hanya beberapa kali saja Ayyu dapat menikmati wajahnya yang purnama. Ayyu jatuh cinta pada pandangan pertama, kedua dan sampai saat ini. Tak perlu alasan untuk menyukainya. Denny karena sampai saat ini Ayyu tak menemukan alasan itu.
Sudah dua tahun Ayyu menikmati rasa itu sendiri. Tak jenuh dan kian semerbak. Denny memang baru saja menyambut uluran hati Ayyu beberapa bulan lalu. Hari itu adalah hari yang mungkin tak akan terlupakan oleh Ayyu; hujan menderas menampar wajah-wajah bumi.
“Wajahmu tetap ayu, mendung tak mampu memudarkan ayumu”, puji Denny saat mereka yang sengaja duduk berdampingan menunggui hujan yang tak kunjung mereda.
“Kau terlalu meninggikan Den”, wajah ayunya memerah meski tak sampai tertunduk
“Aku ingin menjadi matahari agar mendung tak lagi sampai menutupi ayumu”, Denny semakin meyakinkan.
Kala hujan itu lah kali pertama hati mereka berbicara. Ayyu merasakan cintaya telah bersambut. Tak segan lagi Ayyu untuk menunjukkan tentang perasaannya kepada sang tambatan hati, Denny Kurniawan.
Kali ini hujan sedang bersahabat. Air yang sedari tadi pagi menderas telah berhenti kala hari menjelang senja. Meski langit tak seindah biasanya namun tak menjadi soal bagi hati yang tengah dirundung rindu. Saat rindu menyapa akan sangat menyakitkan jika tak segera dipertemukan. Karena Ayyu belum menemukan obat untuk menyembuhkan rindunya kala rindu membelenggu; selain bertemu sang tambatan hati.
Segera Ayyu menuju tempat dimana disana lah Ayyu dapat menikmati wajah sang tambatan hati yang begitu purnama. Tubuhnya hanya berbalut kaos yang tak begitu tebal, angin yang kian membekukan tak dihiraukan. Wajah yang sedari tadi berkeliaran di benaknya tersenyum hangat menyambutnya; tengah duduk di tepian serayu.
“Aku terlambat, Maaf”, sambil mengulurkan tangannya ke arah laki-laki yang sedari tadi telah menunggunya.
“Tak apa, senja belum khatam”, sahut Denny sembari menawarkan seyum hangatnya.
Ini kali pertama mereka bertemu dan duduk berdampingan memuja hati yang tengah bermegah atas kasih yang kian mewangi. Begitu seterusnya, di tepian serayu menikmati senja ditemani angin yang berhembus mesra meski hanya untuk berujar sapa dan menanyakan tentang kabar hari ini. Kian bertabur mawar dalam hati Ayyu, semerbak.
Dialah pemilik hatiku, akankah aku juga pemilik hatinya?, gumamnya lirih. Dirinya telah tenggelam dalam lamunan bersama Denny. Alangkah bahagia jika senja benar-benar menjadi milik pertemuan ku dengannya, selamanya. Harapannya yang selalu tersirami tiap kali senja semakin mekar.
Langit yang berpenghuni itu kian bersahaja menawarkan keindahan oleh arakan awan yang tanpa celah mendung sedikit pun. Dengan langkah gontai Ayyu menyusuri jalan setapak menuju tepian serayu. Tak seperti biasanya, tak ada senyuman hangat yang biasa menyambut hadirnya Ayyu.
Wajah ayunya muram. Gelisah. Hatinya dirundung khawatir atas tambatan hati yang bayangan tubuhnya pun tak terjamah. Kedua matanya tertuju pada selembar kertas yang dilipat tak berbalut amplop. Segera Ayyu meraih kertas yang penuh oleh tarian pena di atasnya. Mulutnya membisu, biarkan hati yang membacanya.
Untuk Ayyu yang berwajah Ayu,
Hari ini, esok, lusa dan seterusnya Denny tak bisa lagi menemui Ayyu.
Maafkan Denny yang selama ini tak sempat menceritakan bahwa hari esok adalah hari pertunangan Denny.
Maafkan Denny yang selama ini tak sempat menceritakan sosok yang sudah menjadi pemilik hati Denny, Rani.
Rani telah lama merantau untuk studinya di negeri seberang. Esok adalah waktu dimana Denny dan Rani merekatkan ikatan yang sempat renggang terhalang jarak.
Denny.
Tangannya yang berbalut kulit sawo matang itu bergerak reflek tak tertatur, gemetar. Tubuhnya melemas. Seakan pasrah. Tubuhnya yang semampai tersorot cahaya senja menguning menciptakan bayangan yang tersketsa.
Mawar yang bertabur di taman hatinya melayu. Matanya hujan, kian menderas di kala senja yang hampir khatam. Harapannya gugur bersama musim yang belum semi.
Cerpen Karangan: Cumil CH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar