17 Maret 2013
Aku membuka mataku. Ku rasakan rasa sakit di sekujur tubuhku. Aku dimana? Batinku. Kulihat ke sekeliling ruangan ini. Semua dindingnya berwarna putih. Sepertinya aku di rumah sakit. Tapi, apa yang terjadi? Ketika aku meraba kepalaku, ku sadari ada perban yang melilit dahiku. Aku berusaha mengingat apa yang terjadi.
Aku membuka mataku. Ku rasakan rasa sakit di sekujur tubuhku. Aku dimana? Batinku. Kulihat ke sekeliling ruangan ini. Semua dindingnya berwarna putih. Sepertinya aku di rumah sakit. Tapi, apa yang terjadi? Ketika aku meraba kepalaku, ku sadari ada perban yang melilit dahiku. Aku berusaha mengingat apa yang terjadi.
—
Dua hari yang lalu aku sedang mengendarai sepedaku. Itu hal pertama yang ku ingat. Kemudian aku melihat seseorang di jalan yang ku lewati. Ya, aku melihat Dana. Tapi, ia tak sendiri. Di sampingnya ku lihat seorang gadis yang seumuran denganku sedang berbicara manja kepadanya. Kepingan ingatanku mulai kembali.
Sejak dua tahun yang lalu, aku mengagumi Dana. Kupikir ia orang yang sangat baik. Tapi, aku tidak pernah mengatakan hal itu kepadanya. Aku lebih suka memendam perasaanku dan membaginya dengan sahabatku, Rasti. Ditambah lagi aku tidak terlalu dekat dengannya.
Aku masih memandangi mereka ketika dari arah depan muncul sebuah mobil yang melaju kencang. Aku tak sadar lagi akan hal itu dan langsung saja mobil itu menabrakku dan sepeda motorku. Hanya itu yang ku ingat, pikirku. Setelah itu, aku tidak merasakan apapun lagi.
—
Kulihat ibuku masuk ke ruangan ini dan melihatku. Ibuku berbicara padaku dan anehnya aku tidak mengerti apa yang ibu bicarakan. Tidak, aku tidak mendengar suara ibu. Ya, Tuhan. Apa yang terjadi? Aku hanya melihat bibir ibu yang bergerak-gerak.
“Ibu, aku tidak bisa mendengar suaramu? Aku kenapa, Bu? Apakah aku tuli?” Aku berteriak. Tapi, aku tetap tidak mendengar suara ibu. Bahkan suaraku sendiri.
Kulihat ibu keluar ruangan. Mungkinkah ibu menyadari kalau aku tidak bisa mendengar? Belum habis rasa terkejutku, ibu kembali mendatangiku. Kali ini ibu bersama seorang pria. Ku tebak ia seorang dokter dan mungkin ia yang merawatku. Dokter itu kemudian memeriksa kondisiku. Aku tidak tahu apa yang ia bicarakan dengan ibuku. Aku hanya bisa menerka-nerka.
“Ibu, aku tidak bisa mendengar suaramu? Aku kenapa, Bu? Apakah aku tuli?” Aku berteriak. Tapi, aku tetap tidak mendengar suara ibu. Bahkan suaraku sendiri.
Kulihat ibu keluar ruangan. Mungkinkah ibu menyadari kalau aku tidak bisa mendengar? Belum habis rasa terkejutku, ibu kembali mendatangiku. Kali ini ibu bersama seorang pria. Ku tebak ia seorang dokter dan mungkin ia yang merawatku. Dokter itu kemudian memeriksa kondisiku. Aku tidak tahu apa yang ia bicarakan dengan ibuku. Aku hanya bisa menerka-nerka.
Sayang, Ibu tidak tahu bagaimana memberitahumu tentang ini. Dokter bilang kamu kehilangan pendengaranmu.
Ia tidak bisa memastikan apakah ini untuk sementara saja atau selamanya. Tapi, Ibu hanya ingin agar kamu kuat.
Ia tidak bisa memastikan apakah ini untuk sementara saja atau selamanya. Tapi, Ibu hanya ingin agar kamu kuat.
Ku baca satu persatu kata yang ibu tuliskan di kertas. Benarkah aku kehilangan pendengaranku? Lalu, bagaimana dengan sekolahku, hidupku dan masa depanku? Bagaimana mungkin aku bisa menjalani hidupku setelah peristiwa ini?
Ibu akan berusaha untuk menyembuhkanmu, sayang. Jangan khawatir, Ibu tidak akan meninggalkanmu.
Otakku buntu. Aku tidak mngerti kenapa semua ini terjadi padaku. Aku tidak mengerti dan aku tidak ingin untuk mengerti. Tiba-tiba aku teringat Dana. Bagaimana mungkin aku bisa mengungkapkan perasaanku padanya jika keadaanku seperti ini. Aku tidak bisa memikirkan apapun lagi.
20 Maret 2013
Hari ini, dokter mengizinkanku pulang. Tidak ada hal yang istimewa, pikirku. Rumahku tetap seperti dulu. Hanya saja mungkin aku yang telah berubah.
Hari ini, dokter mengizinkanku pulang. Tidak ada hal yang istimewa, pikirku. Rumahku tetap seperti dulu. Hanya saja mungkin aku yang telah berubah.
Ku hempaskan tubuhku di ranjang empukku. Ah, sudah lama rasanya aku tidak tidur di kamarku sendiri. Aku rindu suasana seperti ini. Kamarku adalah istana dan akulah sang putri. Ya, hal ini cukup mampu membuatku terhibur. Tapi, hanya sebentar saja. Aku kembali meratapi nasibku. Dokter bilang, aku mungkin tidak bisa mendengar lagi. Membayangkannya saja aku tak sanggup. Menjadi tuli di usiaku yang ke-17, bukanlah hal yang lucu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku nanti. Aku benar-benar merasa putus asa. Tidak ada lagi yang bisa ku lakukan. Aku mulai berpikir untuk berhenti sekolah. Aku ingin pergi jauh. Aku ingin pergi ke tempat dimana aku bisa memulai kehidupanku lagi.
Aku tidak mendengar ketika Rasti mengetuk pintu kamarku. Aku hanya mnyadari ketika ia duduk di sampingku. Ku lihat ia menangis. Apa yang terjadi? Aku paling tidak bisa melihat orang-orang menangis di hadapanku.
Ia kemudian memelukku. Pelukan yang sangat hangat. Rasti sangat aneh hari ini, pikirku. Ku biarkan ia memelukku untuk beberapa saat. Kemudian ia mengambil kertas dan menulis sesutau.
Ia kemudian memelukku. Pelukan yang sangat hangat. Rasti sangat aneh hari ini, pikirku. Ku biarkan ia memelukku untuk beberapa saat. Kemudian ia mengambil kertas dan menulis sesutau.
Ran, aku sudah tahu tentang kamu. Ibumu memberitahuku tentang kecelakaan itu. Aku sangat sedih melihatmu seperti ini.
Ran, berhentilah menangisi keadaan ini. Aku ingin melihat Rania yang ceria, manis dan bersemangat. Besok, aku ingin melihatmu kembali ke sekolah.
Rasti yang baik. Ia sangat peduli kepadaku. Aku selalu luluh jika ia sudah memintaku seperti sekarang. Tapi, aku tidak bisa. Bagaimana aku bisa bersekolah jika keadaanku seperti ini?
Maaf, aku tidak bisa. Kau tidak tahu betapa sulitnya hal ini bagiku.
Aku tidak mau tahu. Besok, aku akan menjemputmu dan kau harus menemaniku!!!
Tapi, Rasti. Aku…
Aku pulang dulu. Jangan lupa untuk makan dan istirahat. Bye.
21 Maret 2013
Aku tidak bisa mendengar apa yang ibu guru jelaskan di depan kelas. Aku hanya tahu sekarang pelajaran Sejarah. Ku lirik Rasti di sampingku. Ia terlihat begitu senang. Andai kau tahu bagaimana perasaanku, Rasti. Aku tidak mengerti dengan apa yang Ibu Guru jelaskan. Kau Tahu kan kalau aku tidak bisa mendengar apapun. Kenapa Kau masih memaksaku untuk hadir ke sekolah? Aku menjulurkan kertas itu. Ku lihat ia tetap diam. Apa yang sedang ia pikirkan? Rasti, hentikan semua ini. Ku mohon!
Aku tidak bisa mendengar apa yang ibu guru jelaskan di depan kelas. Aku hanya tahu sekarang pelajaran Sejarah. Ku lirik Rasti di sampingku. Ia terlihat begitu senang. Andai kau tahu bagaimana perasaanku, Rasti. Aku tidak mengerti dengan apa yang Ibu Guru jelaskan. Kau Tahu kan kalau aku tidak bisa mendengar apapun. Kenapa Kau masih memaksaku untuk hadir ke sekolah? Aku menjulurkan kertas itu. Ku lihat ia tetap diam. Apa yang sedang ia pikirkan? Rasti, hentikan semua ini. Ku mohon!
Tenanglah, Ran. Semuanya akan baik-baik saja. Tidak ada yang berubah.
Aku lelah. Ku biarkan ia asyik mendengarkan bu guru. Aku ingin pergi keluar. Keluar dari kelas yang sunyi. Kelas yang tanpa suara bagiku.
Aku berjalan menuju toilet. Aku ingin menumpahkan perasaanku disini. Aku ingin menangis saja. Semua ini tidak mudah bagiku. Tanpa sadar, aku menabrak seseorang. Dana menatapku. Ah, kenapa dia?
Dia berbicara padaku. Aku tidak tahu apa yang dia bicarakan. Aku mencoba melihat gerak bibirnya. Sepertinya ia meminta maaf padaku karena telah menabrakku.
Dia berbicara padaku. Aku tidak tahu apa yang dia bicarakan. Aku mencoba melihat gerak bibirnya. Sepertinya ia meminta maaf padaku karena telah menabrakku.
“Aku yang salah. Maaf. Aku berjalan dengan tidak hati-hati.” Entah kenapa kalimat itu meluncur saja keluar dari bibirku. Kulihat ia tersenyum. Aku tidak apa-apa. Itu yang kulihat dari wajahnya.
“Ran, namamu Rania, kan? Itu temanmu memanggilmu.” Ia menunjuk ke belakangku. Aku berbalik dan kulihat Rasti.
“Terima kasih. Aku pergi dulu!” Sahutku. Ia tetap tersenyum ketika aku mendekati Rasti. Rasti menggenggam tanganku dan menarikku ke kantin.
“Ran, namamu Rania, kan? Itu temanmu memanggilmu.” Ia menunjuk ke belakangku. Aku berbalik dan kulihat Rasti.
“Terima kasih. Aku pergi dulu!” Sahutku. Ia tetap tersenyum ketika aku mendekati Rasti. Rasti menggenggam tanganku dan menarikku ke kantin.
Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu berbicara dengannya?
Dia tadi menabrakku. Kau tahu, aku bisa mendengarnya.
Kamu bohong. Bagaimana caranya?
Aku melihat gerak bibirnya. Karena itu, aku bisa mengerti apa yang dia bicarakan.
Benarkah? Kalau begitu kamu juga bisa mendengarku, kan?
Kupikir tidak bisa, Ras. Aku hanya bisa melakukannya jika bersama dia.
Hmm, kalau begitu aku akan menjadi dia supaya kamu bisa mengerti aku.
Tidak lucu, Ras. ^_^
27 Maret 2013
Hari ini ulang tahun Dana. Aku sudah menyiapkan kado untuknya. Aku membelikan komik kesukaannya. Tapi, aku tidak tahu apakah ia akan menerima hadiahku.
Hari ini ulang tahun Dana. Aku sudah menyiapkan kado untuknya. Aku membelikan komik kesukaannya. Tapi, aku tidak tahu apakah ia akan menerima hadiahku.
Aku melangkah menuju kelasnya. Semoga tidak ada siapapun disana, harapku. Ketika aku sudah berdiri di depan pintu kelasnya, kulihat ia bersama Sinta. Aku tidak mampu lagi melangkahkan kakiku. Hadiah untuknya terjatuh dari genggamanku dan aku langsung berlari.
Entah aku berlari kemana. Aku hanya ingin sendiri. Aku sudah terlanjur berharap lebih padanya. Aku berharap agar ia bisa menuntunku, mengajariku untuk mendengar dunia. Aku salah. Aku benar-benar menaruh harapan di tempat yang salah.
30 Maret 2013
Sudah dua hari aku tidak ke sekolah. Aku kurang sehat, begitu yang kukatakan pada ibu. Hari ini aku ingin bertemu Rasti. Aku ingin menceritakan semuanya padanya.
Sudah dua hari aku tidak ke sekolah. Aku kurang sehat, begitu yang kukatakan pada ibu. Hari ini aku ingin bertemu Rasti. Aku ingin menceritakan semuanya padanya.
Jangan melamun. Ada apa, Ran? Kenapa kamu kemarin tidak hadir?
Aku kurang enak badan, Rasti.
Oh, aku senang kamu udah baikan, Ran. Bu guru memanggilmu.
Aku menatap papan tulis. Kulihat bu guru menatapku. Apa yang beliau katakan? Aku tidak bisa mendengar. Dimana Rasti, bisikku?
Aku dipanggil kepala sekolah.
Kulihat kertas itu di mejaku. Ah, Rasti. Aku harus bagaimana sekarang? Kulihat bu guru semakin menatapku. Aku tidak bisa membaca bibir beliau sebagaimana yang ku lakukan dengan Dana. Ya, Tuhan. Aku harus bagaimana?
Entah kenapa, aku keluar kelas dan berlari. Aku terus berlari. Aku benar-benar putus asa. Aku tidak bisa hidup seperti ini. Apakah sebaiknya aku mengakhiri hidupku?
Tanpa sadar aku sudah tiba di atas gedung yang baru selesai dibangun. Aku tidak tahu bagaimana caranya aku bisa sampai di tempat ini. Aku mendekati lantai yang bebas tanpa dinding. Inikah saatnya?
Aku menolehkan kepalaku ke arah samping. Tiba-tiba kulihat seseorang sedang dikeroyok. Ku urungkan niatku untuk terjun bebas. Aku ingin melihat siapa yang sedang di pukul itu. Aku melangkah dengan pelan.
Sebuah pemandangan menakutkan terlihat di depanku. Yang mereka keroyok itu Dana. Kenapa hal ini bisa terjadi? Kulihat Dana sudah berlumuran darah. Aku harus menghentikan semua ini. Aku tidak ingin Dana terluka.
Aku terdiam. Apa yang bisa aku lakukan? Aku tidak bisa menolongnya. Jika aku berteriak pun tak ada yang akan mendengar. Tapi, jika aku terus seperti ini, nyawa Dana akan terancam.
Tiba-tiba aku berlari menuju Dana. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiranku. Kulihat salah seorang musuhnya ingin memukulnya dengan palang kayu. Tidak, aku tidak mau Dana terluka.
Duk. Palang itu mengenai kepalaku. Aku terjatuh tepat di samping Dana. Kulihat ia memangkuku. Aku tidak tahu apa yang ia katakan. Aku mencoba melihat gerakan bibirnya.
“Kamu baik-baik saja? Bertahanlah. Aku akan membawamu ke rumah sakit.” Sayup-sayup sampai ku dengar suaranya. Ini pasti mimpi. Bagaimana mungkin aku bisa mendengar suaranya?
“Ran, aku menyayangimu.” Sekarang suaranya kian jelas. Apa yang terjadi? Apakah aku bisa mendengar lagi? Tapi, ia menyayangiku. Apa maksud perkataannya?
“Ran, aku menyayangimu.” Sekarang suaranya kian jelas. Apa yang terjadi? Apakah aku bisa mendengar lagi? Tapi, ia menyayangiku. Apa maksud perkataannya?
Aku tak sanggup berpikir lagi. Aku semakin pusing. Pelan-pelan tak ku lihat lagi wajahnya. Semua menjadi gelap.
18 September 2014
To : Rasti Andita
Hai, Rasti. Apa kabar? Sekarang kamu pasti sudah lulus SMA. Maaf ya aku baru sekarang membalas suratmu. Aku begitu sibuk dengan kuliahku.
Mengenai pertanyaanmu, aku akan menjawabnya satu persatu. Ah, lebih baik ku ceritakan saja.
Ketika pingsan, aku dibawa ke rumah sakit. Setelah beberapa hari aku siuman. Dan, aku bisa mendengar lagi. Dokter bilang ini suatu keajaiban untukku.
Aku terpaksa pindah sekolah karena ibuku pindah kerja ke kota ini. Dan, maaf jika salam perpisahanku dulu begitu mendadak.
Mengenai Dana, ternyata aku sudah salah paham kepadanya. Sinta adalah adik sepupunya. Ketika aku siuman ia kembali mengucapkan kalimat itu. Aku menyayangimu. Sekarang aku dan Dana kuliah di universitas yang sama.
Ras, aku rindu kamu. Kapan kita bisa bertemu lagi? Ya, sudah. Sampai disini saja, ya? Love you, Rasti.
Hai, Rasti. Apa kabar? Sekarang kamu pasti sudah lulus SMA. Maaf ya aku baru sekarang membalas suratmu. Aku begitu sibuk dengan kuliahku.
Mengenai pertanyaanmu, aku akan menjawabnya satu persatu. Ah, lebih baik ku ceritakan saja.
Ketika pingsan, aku dibawa ke rumah sakit. Setelah beberapa hari aku siuman. Dan, aku bisa mendengar lagi. Dokter bilang ini suatu keajaiban untukku.
Aku terpaksa pindah sekolah karena ibuku pindah kerja ke kota ini. Dan, maaf jika salam perpisahanku dulu begitu mendadak.
Mengenai Dana, ternyata aku sudah salah paham kepadanya. Sinta adalah adik sepupunya. Ketika aku siuman ia kembali mengucapkan kalimat itu. Aku menyayangimu. Sekarang aku dan Dana kuliah di universitas yang sama.
Ras, aku rindu kamu. Kapan kita bisa bertemu lagi? Ya, sudah. Sampai disini saja, ya? Love you, Rasti.
Love,
Rania Rinanda
In Kelua, 29 Maret 2013
In Kelua, 29 Maret 2013
Cerpen Karangan: Rahmi Pratiwi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar