Senin, 11 November 2013

Cerpen - Kau Yang Pertama dan Aku Yang Terakhir

Mungkin kebahagiaan hanyalah impian yang tak pernah terwujud, kebahagiaan mungkin hanyalah harapan palsu yang datang tiba-tiba dan menghilang saat itu juga. Aku merasa di hidupku hanya ada kesunyian, kesepian dan kehampaaan belaka, entah ini hanya mimpi ataukah memang benar kenyataan….
Pagi ini sama seperti pagi-pagi sebelumnya, kehampaan dan kesendirian ini memuakkan, ingin rasanya aku mengakhiri hidupku sekarang juga. “olive, bangun sayang, inget ini hari pertama kamu sekolah” suara ibuku membangunkanku dari balik pintu kamar. “aku sudah bangun mam, berhenti berteriak dari balik pintu itu, berisik.” Aku bergegas keluar dari kamar yang membosankan ini. Aku memegang gagang pintu dan membukanya, terlihatlah ibuku yang berdiri tepat di depan pintu kamarku. “loh, mamah kira kamu belum bangun liv.” “aku bukan anak kecil lagi mam, yang harus bangun tepat disaat ibunya membangunkan dari tidurnya, berhentilah berteriak-teriak itu mengganggu telingaku.” Jawabku ketus. “olive sayang, maafin mamah ya, ya sudah kamu sarapan dulu yuk sayang.” ajak ibuku dengan lembutnya. “olive tidak lapar mam, sejak kapan mamah mengajakku sarapan bersama? Bukankah mamah harus bergegas ke kantor? Dan menemui client? Atau rapat mendadak gitu. Sudahlah mam aku bisa ngurus diri aku sendiri. Aku berangkat.” Aku pergi meninggalkan ibuku yang berdiam diri mematung, mungkin dia sedang berfikir akan ucapanku tadi, atau dia memikirkan pekerjaan yang harus diselesaikannya di kantor, atau apalah aku tidak perduli..
“Welcome to SMA BAKTI BANGSA JAKARTA.”
Bacaan yang kutemui di sekolah baruku. Sekolah baru bukan berarti kehidupan baru kan? hidup yang membosankan! Aku berjalan memasuki lorong-lorong menuju kelas, rasanya? Sama seperti aku berjalan memasuki kehidupan ini, nothing special.. Aku berhenti tepat didepan kelas, suasana yang ramai, sangat sangat ramai, dan membisingkan telingaku. Aku melirik wajah-wajah murid disana, harus duduk dengan siapa aku? Aku tidak mengenal mereka satu pun.
Pandanganku tertuju pada cowok yang duduk di pojok belakang, sendirian, padahal anak-anak yang lain asik bicara satu sama lain, tapi dia? Diam sendiri tak banyak bicara. aku pun menghampirinya dia menatapku dengan tatapan yang aneh. “ada yang salah dengan aku?” aku bertanya. Dia hanya menggelengkan kepalanya. “kenapa kamu ngeliatin aku kaya gitu?” aku masih penasaran, tapi dia tetap hanya menggeleng. “kamu gak bisa ngomong?” kali ini dia tidak menggeleng, dia terus menatapku seolah olah aku manusia aneh yang pernah dia lihat. “ok, whatever, boleh aku duduk disini?” tanyaku, dan dia hanya mengangguk tanpa suara. Sungguh orang yang misterius.
Pelajaran dimulai, hari ini Cuma perkenalan, murid-murid satu persatu memperkenalkan dirinya di depan wali kelas, termasuk aku dan teman sebangku ku. Ternyata dia bernama dafi. Cowok pendiam tak banyak tingkah menurutku dia sangat cool. Setelah perkenalan terhadap walikelas dafi masih diam, kami tak saling bicara maupun berkenalan, mungkin dia risih denganku atau aku terlihat aneh baginya.
Seminggu, kita masih saling terdiam, tanpa bicara, seakan kita masih tak saling mengenal. Ini membosankan! Lihat anak-anak yang lain, tertawa bersama, mengobrol bersama, bermain bersama, bahkan ke kantin bersama. Ya ke kantin bersama, enak sekali ya saat makan masih ada teman yang diajak bicara. Sedangkan aku, ke kantin sendirian, makan sendirian, ya tuhan apa nanti aku juga akan berbicara sendirian? Astaga sudah seperti orang yang tak waras ya.
Sebulan berlalu, dafi dan aku mulai berkomunikasi, dia memang tak banyak bicara mengenai hidupnya tapi sekarang dia mulai tersenyum saat kita mengobrol bersama, aku senang melihatnya tersenyum, tapi aku belum melihatnya tertawa, ya sampai saat ini dia belum tertawa, entah mengapa, padahal kita sering mengobrol tentang hal lucu, tapi hanya aku yang tertawa, ia tidak, ia hanya tersenyum. Tersenyum dengan manis sekali.
Bulan selanjutnya dafi mulai mengajakku makan bersama, tapi tidak di kantin, ia tak suka keramaian, ia mengajakku makan di taman belakang sekolah, tempat yang nyaman, jauh dari keramaian dan menyejukkan. Ia juga tak membeli makanan dari kantin ia membawanya dari rumah, dan aku juga harus membawa makanan dari rumah karena tak ada waktu ke kantin. Ibuku sampai heran dengan tingkahku. Tapi tak apa yang penting aku bisa semakin dekat dengan dafi.
Waktu istirahat tiba, dan sial aku lupa membawa makanan hari ini, jika aku ke kantin dan membeli makanan aku jamin dafi tak akan menungguiku. Ya sudahlah aku tak makan, siang ini, aku bisa makan saat sampai di rumah nanti. “liv ayo,” dafi menepuk bahu ku. “eh iya, ayo daf.” Aku jalan sambil terdiam. Sesampainya di taman belakang dafi tak makan ia hanya memandangi ku, entah apa yang salah padaku, dia terus memandangiku, hampir salah tingkah aku dibuatnya. “ada apa daf? Kenapa makanannya gak dimakan?” aku bertanya. “kamu gak makan liv?” ia terlihat heran. Aku hanya menggeleng. “kenapa?” ia kembali bertanya.. “aku lupa bawa makanannya daf, kalau kamu mau makan, kamu makan saja, aku tak apa kok.” Aku tersenyum tapi aku merasa lapar, sial. “kenapa kau tak membelinya di kantin? Aku akan menunggu kamu kok liv.” Ia juga tersenyum, astaga senyumnya membuat hatiku luluh, senyum penuh ketulusan itu menggetarkan hatiku. “aku kira kau tak akan menungguiku daf, jadi aku enggan untuk ke kantin, hehe..” “kamu takut aku tinggal liv? Tidak mungkin aku akan meninggalkanmu liv, kita akan selalu makan bersama disini, di tempat indah ini, berdua, hehe..” ia tertawa sambil mengusap-usap kepalaku. dafi tertawa, Astaga ia benar-benar tertawa, ya tuhan. Aku terdiam memandangi wajahnya, wajah ganteng dengan senyum indahnya. Perasaan ini sungguh tak tertahankan, ada apa dengan hatiku tuhan? “liv, kok diam? Oliv?” “eh iya daf? Ada apa?” aku tersadar dari lamunanku. “ini, ayo dimakan!” ia menawarkan kotak makanannya. “loh kok? Udah kamu aja yang makan daf, aku gak laper kok!” aku menolaknya. “jangan bohongi aku liv, aku tau kamu lapar, aku bisa mendengar suara perutmu berdendang. Hehe, ayo dimakan.” Sial wajahku berubah menjadi merah padam. “kita makan berdua ya daf.” Aku tersenyum…
Aku dan dafi semakin dekat, Kebahagian ini tak terlukiskan, terima kasih tuhan telah menghapuskan rasa kesepian ini, dan jika kau masih mengabulkan doaku tuhan aku ingin ini lebih dari sekedar teman, aku ingin terus bersamanya, selamanya sampai kematian memisahkan kita berdua.
Hari ini weekend dan dafi ingin mengajakku ke suatu tempat, entah dimana aku tak tau pasti. Kita bertemu pukul 11 siang, ia akan menjemputku di rumah. Pukul 11 siang dan benar dafi datang dan mengetuk pintu, ibuku membukakan pintu dan terkejut melihat seorang cowok mencariku, ibuku menyuruh dafi masuk dan duduk, lalu ia pergi ke kamarku “siapa cowok itu?” Tanya ibuku. “teman.” “mau kemana kamu?” “sudahlah mah aku sudah besar.” “ini bukan masalah kamu sudah besar atau belum, mamah tanya kamu mau kemana?” “aku mau main sama dia, Sudahlah mam jangan cerewet, dia anak baik-baik, tidak bisakah mamah liat dari dirinya. namanya dafi dia teman sekelasku.” Ibuku terdiam. “aku tidak akan pulang malam mah, aku janji, aku pergi dulu ya mah, kasihan dafi menunggu terlalu lama.” Aku meluncur ke bawah dan melihat dafi disana, ia menyapaku dan bilang ingin minta izin terlebih dahulu pada ibuku.
Dafi mengajakku ke tempat ini, Tempat yang jauh dari keramaian, ada danau, udara yang sejuk dan indah, tempat ini memanjakan mataku.
Dafi memanggilku dan aku menoleh padanya, ia memberi sekuntum mawar merah dan berkata “olive, entah aku harus bagaimana lagi untuk memendam perasaan ini, perasaan yang membuat jatung ini berdebar-debar saat aku di dekatmu, perasaan yang membuat nyawaku hampir melayang saat melihat senyum manismu, aku.. aku tidak bisa terus memendam perasaan ini, semakin aku membohongi perasaanku padamu, aku akan terluka parah. aku minta maaf untuk perkenalan kita di awal pertemuan, aku gugup buat nanya nama kamu liv, dan mungkin sekarang waktu yang tepat untuk aku utarakan semua perasaan ini, aku sayang kamu liv, aku nyaman berada di dekat kamu, apa kamu mau mengisi hati aku? Menjadi bagian dari hidupku?” aku terdiam tak menyangka dafi bicara kata-kata manis seperti itu. “liv, jawab liv.” “aku.. aku gak bisa daf..” dafi terlihat murung.. “ya udah gak apa-apa kok liv..” ia tersenyum tapi senyum tak bahagia, itu terlihat jelas dalam raut wajahnya. “aku gak bisa nolak kamu daf” aku tersenyum malu-malu. Dafi melihat ke arahku raut wajahnya berubah lagi, kebahagian terpancar dari matanya. Ia mendekatiku dan memelukku. “aku sayang kamu liv”.
ketika hubungan kita sudah mulai masuk ke bulan ketiga, masalah satu persatu mulai hadir di hubungan ini, entah siapa yang egois di antara kita berdua, tapi yang jelas kita berdua sama-sama tak ingin masalah yang dihadapi menjadi panjang.
Sampai pada akhirnya dafi menghilang tak bisa dihubungi, hidupku berubah menjadi hampa kembali, entah apa salahku hingga ia meninggalkanku, aku selalu menoleh ke arah kursinya tiap jam pelajaran tapi ia tak ada disana, aku melamun memandangi kursi kosongnya, aku terdiam mengingat semua tentangnya, mengingat senyum indah yang ia berikan padaku, mengingat bercadaannya yang agak garing disini beberapa bulan yang lalu. Sekarang aku melangkah sendirian daf, ke arah yang tidak aku tahu tujuannya, aku seakan tersesat dalam kehampaan yang membunuh hatiku daf, aku sudah tidak bisa merasakan arti hidup ini daf, semenjak kehilangan kamu, jalan yang kulalui sekarang penuh dengan kegelapan daf, gak ada lampu di pingir jalan yang ku lalui seperti waktu kemarin aku lalui bersama kamu daf.
“kamu apa kabar daf? Sudah hampir 2 bulan loh kamu gak ada kabar! Aku kangen kamu loh daf, aku kangen senyum kamu, aku kangen canda tawa kamu aku kangen semua hal yang kita laluin berdua daf.” Aku mencoba mengirimi dafi sms tapi tak ada balasan, aku juga mencoba menelponnya tapi tak diangkat. Firasatku benar-benar tak karuan, ada apa tuhan? Apa yang terjadi pada dafi? Aku mulai mencari tau dimana dafi berada aku mencoba datang beberapa kali ke rumahnya tapi tidak ada orang. aku hampir putus asa daf, kamu dimana sekarang? Aku menangis di depan pintu gerbang rumahnya, duduk menunduk dan menangis. “nak, sedang apa kau disitu?” aku terbangun, ada seseorang di dalam pintu gerbang ini. “pak, dafinya ada?” bapak itu diam, ternyata ia penjaga rumah ini. “pak saya mohon pak, dimana dafi pak?” aku menangis, aku melihat raut wajahnya ia terlihat sedih. “dafi tidak ada disini neng, ia di rumah sakit.” Aku terbelalak mendengar jawabannya. “hah? Di.. di rumah sakit? Dafi kenapa pak?” “bapak juga kurang paham tentang penyakitnya.” “boleh aku minta alamat rumah sakitnya pak?” “ini neng” “terimakasih pak.” Aku bergegas menuju rumah sakit, aku berlari sambil menangis, kenapa dafi tak pernah bilang akan penyakitnya?
Aku melihatnya dari depan ruang kamarnya, ia tertidur, tertidur pulas sekali, aku mencoba tersenyum dan menahan air mata ini, tapi aku gagal, aku menangis, ibunya datang menghampiriku, aku ceritakan semua tentang hubunganku dan dafi padanya, dan ia menceritakan semua apa yang terjadi pada dafi. Betapa kagetnya aku mendegar cerita ibunya, ternyata dafi sudah berjuang melawan penyakitnya selama 1 tahun, ia tak ingin menyusahkan orang lain. Betapa hebatnya dia, dia berjuang melawan tumor yang menggeragoti tubuhnya sendirian. Aku menangis lagi tapi ibunya terus menahan ku supaya tidak menangis ibunya bilang dafi tak suka orang yang ia sayang menangis untuk dirinya, kalau orang tersayangnya menangis ia akan sedih. Tentunya aku tak ingin ia bersedih, sebisa mugkin aku menahan airmataku tapi selalu gagal, ibunya mengijinkan ku masuk ke ruang perawatan dafi, aku duduk di samping tempat tidurnya dan berbicara pelan dengannya “hey daf, jujur aku sedih banget pas tahu keadaan kamu kaya gini, tapi aku juga seneng banget bisa ketemu sama kamu lagi, disini, kamu kapan bisa sembuh? Aku tau kamu kuat daf, kamu harus sembuh pokoknya daf, memang kamu gak kangen sama aku? Aku tau kamu pasti kangen kan? Jangan bohong daf, hehe cepet bangun ya daf, biar kita bisa sama-sama lagi oke. I love you dafi.” Aku mencium keningnya dan ia mengeluarkan airmata dari kelopak matanya, ternyata dafi mendengarkan ku “dafi sayang kok kamu nangis sih? Jangan nangis dong, aku disini aja gak nangis masa kamu nangis? aku akan disini nunggu kamu sembuh daf, aku janji.” Aku mencoba menahan tangisku, Dafi tampak tersenyum. berjam- jam aku di rumah sakit dan akhirnya aku terlelap kelelahan. Beberapa jam kemudian aku merasa kan seseorang mengusap-usap kepalaku, aku terbangun dan melihat dafi bergerak dan aku memanggil orangtuanya, betapa bahagianya melihat dafi tersadar dari komanya, aku yakin dafi akan sembuh.
Jam sudah menujukan pukul 1 malam dan ini adalah tanggal jadian ku dengan dafi yang ke 5 bulan, aku berdoa di hari jadi kami ini dafi bisa sembuh, semoga saja tuhan masih mengabulkan doaku. Saat aku terdiam, ibunya memanggilku, ia bilang dafi ingin bertemu denganku, aku bergegas menuju ruangannya.
“ada apa dafi sayang?” ia terlihat sulit untuk berbicara.. “jangan dipaksakan sayang..” “seelamaat harii jadii yang ke 5 bulan ya liv, terimakasih udah terima kekurangan aku selama ini, aku sayang kamu.” Ia bicara dengan terbata-bata. “aku juga sayang kamu daf, kamu cepet sembuh ya daf.” Aku tersenyum dan mencoba menahan tangisku. “maafin aku ya udah gak ngasih kabar ke kamu berbulan-bulan, aku gak bermaksud begitu liv.” Aku tau ia berusaha berbicara walau kurang terdengar jelas. “iya gak apa-apa kok daf, kamu cepet sembuh ya.” “jangan nangis lagi ya liv, aku sedih kalo liat kamu nangis.” “iya daf aku janji gak akan nangis lagi.” Aku tersenyum dan dafi juga nampak tersenyum. “MAAF YA LIV, KALO AKU INGKAR JANJI, i love you.” “iya daf, i love you too, sekarang kamu istirahat ya daf, kamu tidur biar besok pagi badan kamu seger, selamat tidur sayang, mimpi indah yah.” Aku mencium keningnya dan ia memejamkan matanya sambil tersenyum, mungkin ia sudah tertidur. Tapi aneh sekali ia tak bernafas, ia tidur tanpa bernafas, astaga aku panik dan memanggil dokter orangtuanya menghampiriku dan menanyakan apa yang terjadi, aku menceritakan semuanya dan dokter menyuruh kami menunggu diluar. Kami semua panik, apa yang terjadi? Barusan, barusan dafi berbicara padaku dan sekarang ia tertidur, tapi tapi.. kenapa ia tak bernafas? Dokter keluar dari ruangan dafi, ia terlihat murung, firasatku tak karuan, astaga apa yang terjadi dok.. “maaf pak bu, dafi sudah tidak ada, ia sudah bersama sang kuasa” aku terkaget luar biasa “tidak, tidak mungkin baru beberapa menit yang lalu ia berbicara pada saya dok, tidak, kau pasti bohong dok, jangan dustai kami dok..” aku menangis, menangis kejar sekali, “oh tuhan bukankah ku berdoa agar kau sembuhkan dafi, tapi mengapa kau malah mengambilnya dariku, kau jahat tuhan, aku sayang dafi tuhan.” Aku menangis memanggil-manggil dafi “olive, kamu tenang sayang, mungkin tuhan sayang sama dafi, tuhan tak ingin dafi merasa sakit lagi makanya ia mengambilnya, ingat kata dafi, kamu gak boleh nangis. Kasihan dafi, ia pasti sedih melihatmu menangis seperti ini.” Ibunya mencoba menenangkan ku, ibunya terlihat pasrah dan iklas. “tapi tan, baru berapa menit yang lalu aku berbicara pada dafi, aku sayang dafi tan,” aku semakin kejar. “tuhan lebih sayang sama dafi liv.” Ibunya mencoba menenangkanku “daf, kok kamu tinggalin aku sih daf, aku kan Cuma suruh kamu tidur istirahat daf, bukan tidur selamanya..”
100 hari kematian dafi…
“hey dafi sayang, apa kabar kamu disana? Kamu pasti sudah bahagia ya berada disisi tuhan? Aku baik-baik aja kok disini daf, aku udah iklasin kamuu, sekarang aku lagi berdoa loh semoga tuhan juga mengambil aku, hehe aku bercanda daf, jangan murung gitu dong, hehe.. kamu kok jahat sih daf, selama ini kan aku loh yang ingin mengakhiri kehidupan yang membosankan ini, tapi kok malah kamu sih yang pergi duluan kesana, kamu curang woo… aku sadar daf cinta memang tak harus memiliki, tapi kematian kan gak memisahkan cinta kita ya daf..! cinta kita kan abadi ya daf..! aku udah janji gak akan menangis karena kamu daf, dan aku lagi coba buat gak ingkarinnya lagi loh. Aku hebat yah. oh iya happy anniv yang ke 8 bulan yah. :) kemarin aku udah nyekar loh ke makam kamu buat ngucapin Hehe. Semoga kamu tenang yah disana. I love you daf.”
- TAMAT -
Cerpen Karangan: Octa Rina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar