Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Secarik Kertas

Matanya memerah, kulihat begitu dalam kesedihan yang dia pancarkan. Aku takut aku akan merasa iba padanya, “kita putus” dan lagi aku tegaskan kata itu kepadanya. Seketika itu pun airmatanya mengalir deras, dan aku beranjak pergi meninggalkan dirinya. Tapi belum genap dua langkah dia menyambar tangan kiriku. Membuatku berpaling, lalu kulihat wajah polos itu menangis dan berlutut di depanku. Aku merasa jahat tapi aku tak boleh lemah oleh airmatanya, bahkan ketika dia tak henti memohon memintaku untuk menarik keputusanku. Tapi sayang derai airmata itu tak cukup mampu membelokkan niatku. Keputusanku telah bulat aku harus meninggalkannya. Dan malam itu terus terulang beberapa kali, aku ganti pacar dan aku tinggalkan lagi.
Tak seperti biasa di malam minggu yang aku habiskan bersama kekasih, kali ini aku minum jus di kedai jus langgananku, malam ini sepi hanya ada beberapa orang saja. Semua sibuk dengan urusan mereka masing masing, sampai seorang anak laki laki mendekati mejaku, “boleh gabung?” kata orang yang berbadan mungil yang sedang brdiri di depanku “yap” jawabku singkat. “kamu bianca kan?” dengan santai dia seolah tau siapa aku seluruhnya. Aku masih memasang wajah sinis pada si mungil itu. “aku ryan” seolah menjawab apa yang ada di otakku dia memperkenalkan namanya. Dan aku tak punya alasan untuk tidak menghiraukannya.
Obrolan kami semakinj hangat dan akrab, aku seperti pernah mengenalnya. Karena tak butuh waktu lama dia telah berhasil mencuri perhatianku, banyak kata kata cerdas yang dia katakan. Dia juga berhasil membujukku untuk menerima tawarannya duduk di atas kips hijau yang knalpotnya rame, dia mengantarku pulang. Yah awalnya memang janggal, kau bertanya Tanya siapa dia, kenapa dia tau semua tentangku, tapi semua pertanyaan itu sirna karena siapapun dia bagaimanapun dia, dia telah membuatku nyaman.
Dan hanya butuh dua minggu, dia memilihku menjadi kekasihnya, dan aku tak punya alasan menolaknya, karena aku merasa ada yang beda dalam dirinya, sesuatu yang bias memahamiku, aku merasa aku telah menemukan orang yang aku cari. sikapnya yang selalu mengutamakan diriku membuatku ketergantungan sama dia. Apapun yang aku lakukan pasti bersama dia.
Pulang sekolah. aku menanti sang pangeranku datang. Tak lama menunggu dia datang dengan sejuta hal yang aku harapkan, kecuali suara bising dari kips hijau itu, kenapa motor sport harus berisik. tapi dia terlihat keren ketika berada di atas tunggangannya itu. kami menuju tempat makan. Ada kejadian aneh, dia menjatuhkan secarik kertas dari dalam dompetnya, saat dia membayar makanan kami. Kertas itu agak kusam, aku penasaran kenapa dia menyimpan kertas dalam dompet, jadi tak ada alasan untuk tidak mengambilnya. Mungkin ini berharga bagi ryan. Tapi rasa penasaranku terlalu kuat, aku lancang membuka lipatan kertas itu, belum sempat aku baca ryan menyambar kertas itu. dia membentakku. Ini pertama kali dia kasar kepadaku, tapi aku yang salah, dan dia tidak marah lagi setelah aku meminta maaf. Sikapnya yang tertutup dan misterius itu membuatku semakin penasaran. Aku sayang sama dia aku tak mau mencampuri urusannya. Lagi pula itu tidak menggangguku, selama ini aku nyaman sama dia jadi tak ada alasan aku memprotesnya.
Di acara ulang tahunku jam 20.00, orang yang aku tunggu tak juga datang padahal lilin angka 17 di atas kue yang manis ini sudah hampir habis. Aku hampir pada puncak kejenuhanku, dan akhirnya dia datang, acara aku mulai saat seharusnya sudah selesai. selesai mengucapkan kata smbutan kini tiup lilin yang sebenarnya sudah padam beberapa kali, bahkan sudah tinggal pangkalnya saja yang tersisa. Pangeran mendekatiku, mungkin untuk ucapan selamatnya kepadaku atau mungkin kejutan untukku. Jantungku berdetak kencang, aku tak sabar menunggu kejutan darinya. Dan di depan semua teman teman ku dia mendekatiku tepat di depanku, dia memegang tanganku dan mendekatkan wajahnya di wajahku. Oh tidak aku malu sekali. Aku tak mampu menjelaskan apa yang terjadi lagi.
Berhari hari setelah ultahku, aku masih mengurung diri di kamar, mataku merah dan bengkak aku menangisi hari itu, oh tidak aku menangisi sang pangeranku hingga kini tiada kabarnya. Dia benar benar pergi menyisakan sejuta pertanyaan di pikiranku, aku bingung kenapa kenyataan ini terjadi. “kamu harus mencari ryan dan meminta penjelasannya. Jangan gengsi” sebuah kalimat yang akhirnya mencerahkan pikiranku, itu sebuah ide yang tidak buruk dari sahabatku yang dari tadi merangkulku. Aku menegakkan kepalaku “kamu bener” dengan mata berbinar aku mengamini sarannya. Seraya menyeka airmata di pipiku dia tersenyum kepadaku. aku punya sahabat yang baik, aku pun mmbalas senyuman indah penuh semangat itu.
Hari itu juga aku mendatangi rumah ryan, orang yang telah benar benar membuatku sakit, menguras airmata. kini aku telah berdiri tepat di depan bangunan megah dan indah itu, pagarnya tinggi namun banyak celah melihat ke dalam, pohon mangga yang rindang di depan teras rumah itu, gerbang kayu warna hitam doff dan berbagai macam bunga yang mekar di taman depan rumah itu terlihat dari sela sela gerbang. Bau harumnya bahkan tercium dari tempat aku berdiri. Aku menarik nafas mengumpulkan keberanian mendekati bel yang tertempel di pinggir gerbang. dari balik gerbang kulihat tampak sepi, rumah ini seperti telah ditinggalkan penghuninya. Tanganku gemetar namun mulai terangkat “cari siapa dek?” aku kaget belum sampai tanganku menekan bel rumah itu terdengar ibu menyapaku, aku langsung membalikkan badan, kulihat sosok paruh baya berdiri membawa belanja dari pinggir jalan tak jauh dari tempatku berdiri. Aku menghampiri ibu itu “saya mencari ryan bu” kami terlibat percakapan singkat. Kantung airmataku hampir pecah. Dengan tergesa gesa aku menuju tempat dari cerita singkat ibu tadi.
Sampai di tempat tujuan, aku langsung menuju ke hadapan wanita cantk berbaju putih lengkap dengan topinya yang terduduk manis di belakang meja panjang itu. aku langsung bertanya adakah pasien beranama ryan. Dan setelah wanita itu selesai menari dengan jari lentiknya di memberitahuku kalau tidak ada orang yang aku cari. Aku terduduk merenung, ibu tetangga tadi berkata kalau ryan pasti ada disini.
Bermaksud menyerah, aku mengumpulkan niat untuk pulang. Tapi ketika aku beranjak dari tempat dudukku, ada yang menarik perhatianku, seseorang melintas di lorong sisi kiri tempatku berdiri. Aku merasa dia orang yang aku cari, aku yakin dia ryan, karena hanya dia yang biasa memakai sneakers beda warna tanpa rasa malu dianggap buta warna. tapi buat apa dia disini, bahkan namanya tidak tecantum sebagai pasien.
Aku mengikutinya dari belakang, dia berjalan begitu cepat. Aku sedikit trsenyum mengikuti langkah orang unik itu, orang yang memandang hidup seperti komidi putar. Dia juga pintar, selalu mengeluarkan kata kata yang tak aku duga. Tapi itulah yang membuat aku sayang sama dia, halusinasiku bubar ketika kulihat dia memasuki sebuah ruangan. Tubuhku gemetar, perlahan tangan ku mulai mendorong gagang pintu kamar itu. dan sedetik kemudian aku lihat orang yang menangis mengelilingi laki laki yang tergeletak di ranjang perawatan. Ada seorang ibu yang terjatuh lemas di pelukan seorang laki laki dengan kaca mata, kumisnya tebal, wajahnya mirip ryan mungkin itu ayahnya, laki laki itu terus mendekap wanita itu sambil menyuruhnya sabar dan ikhlas. Tujuanku kesini menguap sudah, sepertinya aku datang pada saat yang tidak tepat. Aku bingung.
“Bianca” panggilan ryan membuyarkan imajinasiku. Dan seketika itu semua orang menatapku dengan tatapan aneh, terdapat bintik kebencian di cahaya mata mereka, aku tertegun, bingung juga sedih. Sampai akhirnya ibu yang tadinya menangis itu mendekatiku dengan emosi yang siap melumatku mentah mentah. aku hanya bisu mendengar cemooh ibu itu, dia murka, kata yang dia lontarkan begitu sakit “gara gara kamu anakku tiada” dan kalimat ini yang paling menusuk telingaku. Aku tak habis pikir, ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi. Ryan lalu menyambar tanganku, dia menyeretku keluar genggaman tangannya begitu kuat aku berteriak kesakitan tapi dia seolah tidak menghiraukan dia terus menyeretku berjalan menyusuri lorong. Aku tertatih mengikuti langkah kakinya. di taman depan rumah sakit, dia akhirnya melepaskan tangan ku. Aku merintih kesakitan, sambil memegangi pergelangan tanganku. Belum sempat berbicara sepatah kata pun dia mengusirku, lalu dia pergi meniggalkanku yang terbalut sejuta tanda Tanya.
Pagi yang indah, duduk di teras menghirup udara segar, berharap hari ini aku hilang ingatan dengan apa yang terjadi kemarin, hari yang pahit. Dan tiba tiba ryan muncul di depanku dengan tunggangan kips warna hijau yang berisik itu. Dia melepas jet solid centro merah yang membungkus kepalanya, dan lagi aku merasa aneh dengan kedatangannya. dia tampak kalut, wajahnya pucat pasi ada yang beda dari penampilanya. Setelan celana dan kemeja hitam, bahkan sepatu pincangnya tak dia kenakan lagi hari ini. Dia mengajakku ke suatu tempat, tentu bukan kafe yang sering kita kunjungi malam minggu dulu, atau restoran atau pantai yang indah kala itu. dalam hati aku ingin bertanya, tapi tatapan mata itu masih mampu membungkam mulutku, seperti ketika dia memilihku menjadikan kekasihnya.
Masih dengan sejuta kebingungan yang menjerat otakku karena sekarang aku telah berada di tempat yang sepi, bersih, hijau dan banyak pohon kamboja. Ryan membuka dompetnya lalu memberikan secarik kertas kusam padaku.
“aku melihat dia bersama sahabatku, hanya sehari setelah dia ninggalin aku. Tak kusangka sahabatku dan kekasihku menyakitiku. Aku benci huidupku.
Bianca, kan kubawa namamu bersama jiwaku pergi. jauh dari semua masalalu dan kesakitan ini. maafkan aku mencintaimu.”
Aku melihat ryan, hanya dengan tatapan bingung tanpa buka mulut dia menjawab pertanyaan yang melintas di benakku. “itu kalimat terakhir niko dalam diarynya.” Kalimat itu semakin membuatku bingung, lalu apa hubungan semua ini denganku, kulihat ryan menarik nafas dalam dalam. “dia adalah orang yang kau sakiti tiga bulan yang lalu”. ada yang menyesaki rongga dibalik tulang rusukku setelah mendengar kata kata itu, perasaan ku mulai tak tenang, banyak pikiran terlintas menakutkan. Apa mungkin? begitu banyak pertanyaan yang mungkin bisa menjadi jelas. “terus?” aku meminta ryan melanjutkan cerita yang sebenarnya sangat membuatku takut. “dia adikku Seminggu setelah dia patah hati dia kecelakaan, dia koma, dan tak pernah bicara lagi. dia anak yang polos dan rapuh, dia sakit sakitan itulah kenapa kami sangat menyanyaginya” dan baru kali ini aku merasa seharusnya aku tak punya telinga agar aku tak bisa mendengarkan cerita yang begitu pahit, aku hanya terduduk lemas mendengar cerita ryan, aku menggenggam kertas itu kuat kuat. Ryan mengusap punggungku, aku tak punya alasan untuk tidak menangis. “sekarang dia sudah tenang” kalimat itu terdengar lirih dari bibirnya. kini aku mengerti kenapa ryan dendam padaku. Dadaku seolah tertindih batu yang sangat besar, tak kusangka semua begini, Batu nisan ini seolah mencatat semua penyesalanku.
Cerpen Karangan: Toni Cahyo Seeko Yudianto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar